KIARA: Libatkan warga dalam kebijakan penyelamatan pesisir Jateng

1 month ago 13

Jakarta (ANTARA) - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyoroti pentingnya melibatkan warga lokal dalam pembuatan kebijakan terkait penyelamatan pesisir Jawa Tengah, karena solusi-solusi yang diberikan sering tidak relevan dengan kondisi lapangan, sehingga berdampak pada kehidupan warga lokal.

Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati Romica mencontohkan, kasus banjir rob yang melanda Semarang ditangani dengan pembangunan tanggul raksasa, yang menurutnya memperparah kondisi Demak dan daerah pesisir sekitarnya.

Baca juga: BMKG peringatkan potensi rob di pesisir Pantura Jateng

Susan menjelaskan air yang terhalang tanggul mengalir ke wilayah yang lebih rendah, menenggelamkan desa-desa tanpa pertimbangan dampak sosial dan ekologis.

“Banjir rob kok solusinya tanggul laut, bukan mangrove? Solusi ini bukan hanya tidak berbasis pengetahuan lokal, tetapi juga merampas ruang hidup masyarakat pesisir,” katanya.

Dia menambahkan proyek-proyek semacam itu juga telah mengubah pola aliran air dan memusnahkan ekosistem mangrove yang sebelumnya melindungi pesisir.

Sebagaimana diberitakan sejumlah media di Jateng, katanya, Proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) yang dianggap sebagai miniatur Giant Sea Wall di kawasan Pantura ini telah menghabisi 42,6 hektare hutan mangrove.

Menurut Susan, proyek-proyek besar, seperti reklamasi dan tanggul laut dirancang di Jakarta dengan basis kajian teknokratis yang sering kali tidak relevan dengan kondisi lapangan.

Dia menyebutkan Jawa Tengah, salah satu wilayah pesisir yang kaya akan sumber daya alam dan budaya, kini berada di titik kritis. Ancaman tenggelam bukan lagi sekadar proyeksi masa depan, melainkan kenyataan yang perlahan menjadi nyata.

"Setidaknya sudah terjadi di beberapa wilayah pesisir. Sejumlah desa di pesisir Jateng hilang dari peta. Di Kabupaten Demak, desa-desa seperti Timbulsloko, Bedono, dan Sriwulan kini berubah menjadi rawa atau lautan," kata Susan.

Kemudian, katanya, di Pekalongan, Desa Tirto dan Wonokerto tenggelam akibat abrasi yang semakin parah, sementara di Brebes, Desa Pandan Sari menghadapi nasib serupa.

Senada dengan Susan, Masnuah, dari Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) menjelaskan bahwa banjir rob tidak hanya menghancurkan desa-desa pesisir, tetapi juga mata pencaharian warga.

“Anak-anak sekarang tidak lagi bermimpi menjadi nelayan. Pergi melaut sudah tidak menjanjikan. Nelayan kehilangan ruang hidupnya akibat reklamasi besar-besaran,” katanya.

Masnuah menambahkan upaya masyarakat pesisir untuk bertahan sering kali dianggap tidak penting oleh pemerintah. Program konservasi mangrove yang mereka lakukan secara swadaya, tidak mendapat dukungan memadai. Bahkan,bantuan sosial dari perusahaan yang merusak lingkungan sering kali diterima dengan berat hati sebagai bentuk ironi.

Dalam keterangan yang sama, Cornelius Gea dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang mengatakan bahwa adaptasi terhadap perubahan iklim sering dijadikan alasan untuk proyek-proyek besar itu.

Baca juga: BNPB cegah abrasi di pesisir Jateng dengan bronjong ramah lingkungan

Baca juga: BMKG: Waspadai potensi rob di pesisir selatan Jateng-DIY

"Padahal, proyek-proyek tersebut justru melayani kepentingan investasi, seperti kawasan industri dan pelabuhan internasional. Menyelamatkan warga kota dengan mengorbankan desa-desa pesisir adalah kebijakan diskriminatif," kata Cornelius menambahkan.

Menurut data LBH Semarang, katanya, pada 2024 terdapat 139 kasus lingkungan di Jawa Tengah, termasuk 101 banjir dan longsor serta 9 kasus kekeringan. Sementara itu, area tutupan hutan hanya tersisa 5,7 ribu kilometer persegi, dan lahan kritis mencapai 733,4 hektare.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2024

Read Entire Article
Rakyat news | | | |