Alor, Nusa Tenggara Timur (ANTARA) - Ruben tampak dari halaman rumah sederhananya di Pulau Pantar, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, sedang sibuk menjemur biji buah kenari yang berwarna cokelat berkilau, tersorot cahaya terik matahari.
Dengan gerakan teratur, jemarinya yang kekar meratakan biji kenari basah di atas meja papan beralas terpal biru untuk dikeringkan secara merata. Dari aktivitas inilah, satu harapan tumbuh agar kenari bukan lagi sekadar hasil hutan, tetapi sumber daya yang memberi manfaat besar bagi warga kepulauan yang dijuluki "surga dari ujung timur matahari" ini.
“Beginilah aktivitas saya setiap akhir pekan. Sedari pagi buta saya turun ke pasar mengumpulkan kenari dari warga petani, lalu pulang dan langsung mengolahnya,” kata Ruben (35), seorang pengepul kenari dari Pantar, menyapa dengan senyum ramah.
Ruben adalah lulusan Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang. Sejak 2014, ia bekerja sebagai tenaga teknis lapangan di UPT Maliang, Dinas Peternakan Kabupaten Alor. Gaji bulanannya sebagai honorer hanya Rp400.000, namun pekerjaan dari menyuntik ternak hingga kunjungan ke kandang warga itu tetap dijalaninya dengan penuh tanggung jawab.
Keberhasilan Ruben dalam mengolah biji kenari menjadi komoditas pangan berkualitas hingga menembus pasar kota-kota besar menjadi alasan Tim Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) bersama Asosiasi Petani Kenari Alor membawa ANTARA ke rumah pengepulan sekaligus pengolahan sederhana itu, Sabtu (14/6).
Kenari (Canarium sp), yang dulunya dikenal sebagai tanaman liar di hutan-hutan Pantar, kini berubah peran menjadi penggerak ekonomi rumah tangga. Sebuah transformasi yang dimulai dari luka akibat bencana badai Siklon Seroja pada April 2021 yang melanda sebagian besar wilayah Nusa Tenggara Timur, termasuk Pulau Pantar.
Meski tak separah wilayah lain, gelombang tinggi dan longsor akibat siklon merusak rumah, jalan, dan lahan pertanian. Ekonomi warga terpukul, termasuk keluarga Ruben yang menggantungkan hidup dari hasil tani dan ternak.
Hasil uji laboratorium
Titik balik kebangkitan datang saat Yayasan WVI bersama Pemerintah Kabupaten Alor menggandeng Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk mendampingi warga mengelola potensi kenari. Riset dan uji laboratorium menunjukkan kenari Pantar unggul dalam ukuran, tinggi kandungan lemak dan protein, serta kaya magnesium dan minyak alami.
Dari pendampingan intensif selama satu tahun, Ruben mantap banting setir. Pada 2022, ia resmi menjadi pengepul kenari. Ia membangun jejaring pasokan dari empat pasar tradisional di Pulau Pantar, membeli biji kenari tanpa cangkang dari petani dan pedagang dengan harga tinggi, Rp30.000 hingga Rp36.000 per kilogram.
"Dulu bisa Rp20.000-an, tapi karena pasar sudah bagus harga bagus. Apalagi saya tahu beban warga dari kampung-kampung di bukit sana. Mereka perlu ongkos turun ke pasar. Jadi saya bantu dengan beli lebih tinggi. Sekarang cuma saya pengepul R1 di Pantar," katanya.

Setiap akhir pekan, kenari yang dibeli dari pasar langsung dibawa ke rumah untuk diproses. Biji dijemur 30–60 menit, disortir berdasarkan warna kulit dan kualitasnya. Yang tidak lolos sortir digunakan untuk bahan masakan, bukan dibuang kecuali yang busuk.
Kenari pilihan lalu direbus dalam air mendidih selama tiga menit yang cukup untuk melunakkan kulit tipisnya. Proses ini menghasilkan biji kenari berwarna putih susu, yang dikenal sebagai kacang kenari.
Untuk mempercepat proses, Ruben menggandeng sebelas ibu rumah tangga tetangganya. Mereka mengupas kulit kenari secara manual. Proses ini diawasi ketat oleh Yuliance Sika, atau yang akrab disapa Mama Ule.
Tugasnya memastikan semua anggota tim menjaga kebersihan dan kualitas. Sarung tangan dan penutup kepala adalah standar wajib yang diawasi sendiri oleh Mama Ule. “Hari ini ada 32 kilogram kacang kenari yang kami kupas. Tidak terlalu banyak. Kalau musim panen, bisa sampai lebih dari tiga kilo sekali kerja,” ujarnya.

Setiap kilogram kenari kupas dihargai Rp10.000. Bagi Mama Ule dan ibu-ibu lainnya, aktivitas ini cukup menambah uang dapur dan menjadi ruang berkegiatan produktif setiap akhir pekan.
Setelah dikupas, kenari dijemur kembali dua hingga tiga hari di ruang pengeringan dari rangka baja dan platik bening berukuran 3x4 meter. Proses ini menghasilkan tekstur kenari yang keras dan aroma menyerupai kacang sangrai. Setelah itu, kacang dikemas dan siap dikirim ke berbagai pemesan.
Pasar Ruben cukup luas. Kenari berkulit dikirim ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, untuk bahan masakan, sedangkan kenari kupas dipasok ke Jakarta, Kupang, dan Labuan Bajo untuk diolah menjadi camilan atau kudapan ringan lain.
Seluruh proses pembelian, pengolahan, pengemasan hingga pengiriman dilakukan secara mandiri oleh Ruben, istrinya, dan para pekerja. Harga jual kini mencapai Rp65.000 per kilogram untuk kenari berkulit dan Rp90.000 untuk kenari kupas. Dalam seminggu, ia bisa mengirim hingga 100 kilogram tergantung permintaan pasar.
Saat panen raya Maret–Mei, omzet Ruben bisa mencapai Rp4 juta hingga Rp7 juta per minggu. Sebagian hasilnya disisihkan untuk biaya sekolah anak-anak, sebagian lagi untuk mendukung aktivitas gereja tempat ia menjabat sebagai Ketua Pemuda.

Dampak ekonomi bagi warga
Dampak ekonomi dari stabilnya harga juga dirasakan Mama Asnad (60), warga pengumpul kenari dari perbukitan Pantar. Setiap hari ia mendaki dua jam menyusuri bebatuan demi memanen kenari dari hutan.
“Hasil jual kenari, saya bisa beli beras, minyak, bumbu dapur. Sisanya ditabung buat biaya pendidikan anak, satu dari tujuh anak bisa kami kuliahkan dari sini,” katanya sembari mengunyah kapur sirih.
Bagi masyarakat Pantar, kenari bukan semata komoditas dagang. Ia bagian dari kehidupan, dari meja makan hingga upaya memperkuat ketahanan pangan lokal. Kenari biasa dimasak dalam jagung bose, makanan pokok khas Alor yang setara nasi. Rasa gurih kenari berpadu dengan santan menghasilkan sajian keluarga yang khas, biasanya disantap bersama ikan atau gurita bakar dan sambal terasi.

Karena itu, Pemerintah Kabupaten Alor menempatkan kenari sebagai komoditas unggulan yang bukan hanya bernilai ekonomi, tapi juga bagian dari identitas daerah.
“Kenari ini tumbuh alamiah dan khas Alor. Rasanya unggul, nutrisinya tinggi, dan bisa jadi ikon daerah. Karena itu kami terus berupaya agar masyarakat tidak hanya menjual bahan mentah, tapi juga mengolah menjadi produk turunan seperti camilan dan minyak,” kata Bupati Alor Iskandar Lakamau kepada ANTARA.
Kenari telah menyebar hampir di seluruh wilayah Alor seperti Pantar, Leilanduhi, Sebanjar, Kamot, hingga Bukapiting. Cita rasanya seragam dan khas, menjadikan kenari Alor sebagai komoditas yang patut dipromosikan secara nasional, bahkan untuk ekspor.

Pemerintah Kabupaten Alor telah membentuk komunitas perlindungan untuk menjamin keberlanjutan pohon-pohon kenari, dan menjalin kolaborasi dengan WVI untuk pengurusan sertifikasi indikasi geografis (IG). Pengolahan kenari juga didorong agar dilakukan di Alor, demi menjaga nilai tambah di tangan masyarakat.
“Kami ingin kenari tidak hanya menjadi hasil hutan, tapi dibudidayakan secara terencana dan berkelanjutan. Berbicara hilirisasi butuh infrastruktur dan teknologi penunjang memang kami akan terus berusaha dan terbuka untuk kerja kolaborasi,” ujar bupati yang berlatar belakang pendidikan lingkungan hidup ini.
Bagi Ruben dan banyak warga lain, kenari bukan hanya soal keuntungan, tapi tentang kemandirian. Mereka kini tidak sekadar memanen, tetapi juga mengelola, memproses, dan mengirim langsung ke pasar dengan harapan, suatu hari nanti, kenari Alor bisa sejajar dengan komoditas unggulan Indonesia lainnya
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025