Addis Ababa (ANTARA) - Inisiatif Tata Kelola Global (Global Governance Initiative/GGI) yang diusulkan oleh China baru-baru ini merupakan kerangka kerja strategis yang dapat menata ulang kerja sama internasional, demikian menurut seorang pakar asal Ethiopia.
Di era penuh ketidakpastian, yang ditandai dengan persaingan geopolitik, perubahan iklim, dan kesenjangan pembangunan yang semakin melebar, tata kelola global berada di bawah tekanan.
Pada saat yang sama, institusi-institusi yang sudah ada, meski memiliki nilai historis yang signifikan, sering kali tidak cukup untuk menangani isu-isu transnasional yang mendesak saat ini, kata Balew Demissie, seorang konsultan senior di Institut Kajian Kebijakan Ethiopia (Policy Studies Institute of Ethiopia).
"GGI berupaya mendorong pembangunan sistem tata kelola global yang lebih adil dan setara, serta bekerja sama untuk menciptakan komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia," ujarnya kepada Xinhua, seraya menambahkan bahwa GGI menawarkan sebuah peta jalan untuk ketahanan kolektif di dunia yang terpecah belah.
Usulan China itu bertepatan dengan peringatan 80 tahun berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Seperti yang tercantum dalam dokumen konsep GGI, PBB didirikan "setelah refleksi mendalam atas pelajaran pahit dari dua perang dunia" demi mencegah terjadinya bencana global lebih lanjut, kata Demissie.
Namun, delapan dekade kemudian, sistem ini dihadapkan pada tiga kelemahan, yaitu kurangnya representasi dari Global South, erosi otoritas, dan kurangnya efektivitas, kata cendekiawan tersebut.
Dia menyoroti perluasan BRICS, yang menyambut anggota-anggota baru dari Afrika dan Timur Tengah pada 2023, sebagai langkah kuat untuk menggaungkan suara dari perekonomian-perekonomian yang sedang berkembang (emerging).
GGI mencerminkan dinamika ini, tidak hanya memberikan pengakuan simbolis, tetapi juga menawarkan jalur pengaruh praktis, kata sang pakar. Dia menambahkan bahwa jika diimplementasikan, GGI dapat mengurangi rasa keterasingan negara-negara berkembang dan meningkatkan kepercayaan terhadap solusi multilateral.
Menurut Demissie, hal yang sama pentingnya adalah komitmen GGI terhadap multilateralisme: urusan global harus diputuskan oleh semua pihak; sistem tata kelola harus dibangun oleh semua pihak; dan manfaat dari tata kelola harus dirasakan oleh semua pihak.
Berbeda dengan pernyataan yang bersifat abstrak, GGI menekankan hasil yang konkret. Pragmatisme ini sejalan dengan visi China yang lebih luas tentang internasionalisme yang berorientasi pada pembangunan, seperti yang diungkapkan dalam Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra serta tiga inisiatif global lainnya, imbuh Demissie.

"Ketika wabah Ebola melanda Afrika Barat pada 2014, misalnya, China mengirimkan tim medis dan mendirikan pusat-pusat perawatan, menunjukkan seperti apa solidaritas yang berorientasi pada hasil. Selama pandemi COVID-19, China juga menunjukkan bagaimana cara menangani barang publik dengan memberikan vaksin kepada lebih dari 100 negara," ungkapnya
Pada intinya, GGI mewakili reorientasi kerja sama internasional pada saat yang paling dibutuhkan. Dengan menekankan kesetaraan kedaulatan, supremasi hukum, multilateralisme, pembangunan yang berpusat pada rakyat, dan hasil pragmatis, GGI dapat mengubah tata kelola global dari arena persaingan kekuatan menjadi platform kolaboratif untuk ketahanan kolektif umat manusia, kata Demissie.
Peta jalannya tidak bertujuan untuk menggulingkan institusi-institusi yang sudah ada, melainkan untuk merevitalisasinya agar dapat bertindak lebih baik, beroperasi secara efektif, beradaptasi dengan perubahan, dan merespons tantangan global dengan cepat, tambahnya.
GGI memandang hukum internasional sebagai landasan perlindungan bagi tata kelola global. "Ini berarti penerapan norma internasional secara seragam, tanpa standar ganda atau pemaksaan," tutur Demissie. "Dalam dunia di mana negara-negara kuat menerapkan aturan secara selektif, prinsip ini menjadi sangat penting."
Penerjemah: Xinhua
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.