Jakarta (ANTARA) - Industri sawit dinilai masih mempunyai peran besar dalam perekonomian Indonesia karena selain menjadi komoditas ekspor utama, sawit juga menjadi sumber penghidupan bagi sekitar 16 juta orang, mulai dari petani, pekerja perkebunan hingga pelaku usaha turunannya.
"Indonesia memiliki sekitar 16,38 juta hektare lahan sawit, di mana 53 persen dikelola swasta, enam persen oleh BUMN dan sisanya sekitar 41 persen petani swadaya," ungkap Staf Ahli Bidang Konektivitas dan Pengembangan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera dalam diskusi publik bertema "Peran Industri Sawit dalam Perekonomian Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045" yang diselenggarakan Tempo Media Group di Jakarta, Selasa.
Dida dikutip dari keterangan tertulisnya mengatakan produktivitas sawit Indonesia masih dapat ditingkatkan. Saat ini, rata-rata produksi masih di bawah empat ton per hektare. Sedangkan perusahaan besar mampu mencapai 10-12 ton per hektare.
"Melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), produktivitas diharapkan bisa naik dua hingga tiga kali lipat dalam empat tahun ke depan," kata dia.
Menurutnya, keunggulan utama sawit dibanding minyak nabati lain seperti bunga matahari atau rapeseed terletak pada produktivitasnya yang mencapai empat kali lipat.
"Sawit adalah komoditas dengan produktivitas lahan terbaik di dunia dan menjadi pilihan paling berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati global," ujar Dida.
Untuk menjawab tantangan keberlanjutan, pemerintah memperkuat kebijakan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025, sertifikasi ISPO kini mencakup seluruh rantai industri, dari perkebunan hingga sektor hilir.
"ISPO ini bersifat wajib. Bagi pekebun kecil, sertifikasi akan diberikan masa transisi empat tahun dengan biaya yang seluruhnya ditanggung pemerintah," ucapnya.
Selain menjamin keberlanjutan, pemerintah juga mengembangkan sistem informasi ISPO untuk memastikan keterlacakan dan transparansi data lahan. Dengan sistem tersebut, setiap lahan yang tersertifikasi ISPO dapat diverifikasi bersih dari kawasan hutan dan tidak tumpang tindih.
Dida melanjutkan bahwa pengembangan biofuel, biogas, dan produk turunan non-pangan dari sawit juga menjadi peluang besar menuju ekonomi hijau.
Saat ini, terdapat sekitar 200 produk turunan sawit yang dikomersialisasikan, mulai dari kosmetik hingga bioavtur. Bahkan, 40 persen kandungan biodiesel yang digunakan masyarakat berasal dari sawit.
Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Surjadi menyoroti pentingnya dimensi sosial dalam keberlanjutan industri sawit. Pembangunan ekonomi tidak boleh terlepas dari kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup.
"Petani swadaya memegang peranan penting, namun banyak dari mereka hanya memiliki 2-3 hektare lahan dan menghadapi keterbatasan akses terhadap pupuk serta pendanaan," katanya.
Ia menekankan perlunya pendampingan kelompok petani agar dapat beroperasi secara efisien dan mendapatkan nilai tambah dari hasil panen. Idealnya, petani membentuk kelompok dan didampingi oleh perusahaan besar atau pemerintah agar memiliki posisi tawar yang lebih baik.
Selain itu, Surjadi menggarisbawahi pentingnya perhatian terhadap buruh perkebunan sawit.
Menurut dia, para buruh juga bagian dari ekosistem sawit yang berhak mendapatkan penghidupan layak dan status kerja formal.
Mengutip penelitian dari IPB University yang dipublikasikan di Forest Policy & Economics 2020, Surjadi mengungkapkan bahwa trade-off antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan bisa diminimalkan.
"Penelitian itu menunjukkan bahwa win-win solution selalu tersedia. Dengan pengelolaan yang tepat, sawit di lahan gambut pun bisa mengurangi emisi sekaligus menjaga produktivitas," tuturnya.
Adapun, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Eddy Martono mengatakan target produksi sawit Indonesia pada 2045 mencapai 92 juta ton. Angka itu hampir dua kali lipat dari produksi saat ini yang sekitar 53 juta ton.
Menurut Eddy, pembenahan sektor hulu industri sawit harus segera dibenahi. "Hilirisasi tidak akan berhasil jika hulunya bermasalah. Produksi sawit stagnan dalam lima tahun terakhir. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mendorong peningkatan produktivitas petani dan efisiensi di tingkat kebun," ujarnya.
Ia pun menyoroti dampak besar program biodiesel terhadap ekonomi daerah. Harga sawit sempat di bawah biaya produksi sebelum program biodiesel.
"Banyak petani membiarkan buahnya busuk di pohon. Sekarang, berkat program biodiesel, harga bisa bertahan dan ekonomi daerah ikut hidup," kata Eddy.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

















































