Jakarta (ANTARA) - Implementasi strategi Deforestation and Conversion-Free (DCF) dalam pendekatan yurisdiksi dinilai mampu menciptakan pengelolaan komoditas perkebunan unggulan di Indonesia menjadi berkelanjutan dan ramah lingkungan.
"Hal ini selaras dengan upaya tata kelola perkebunan kelapa sawit yang menjadi prioritas pemerintah Indonesia, terutama terkait aspek legalitas," kata Direktur Climate Market and Transformation, WWF-Indonesia Irfan Bakhtiar dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan bahwa DCF merupakan konsep dalam manajemen rantai pasok dan tata kelola pasar untuk memastikan bahan baku tidak berasal dari unit produksi yang mengubah ekosistem alami.
Organisasi konservasi internasional untuk perlindungan satwa dan lingkungan hidup ini menilai bahwa konsep DFC yang menyangkut aspek legalitas sangat diperlukan agar komoditas Indonesia tetap berdaya saing tinggi di dalam persaingan pasar global. Hal ini sebagaimana yang juga telah diadopsi oleh banyak negara tujuan ekspor, distributor, bahkan tingkat konsumennya.
Pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah yang membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, kemudian diikuti dengan penerbitan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025 mengenai subyek hukum pelaku perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan.
“Penerbitan SK Menteri Kehutanan Nomor 36 menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit. Kami berharap, langkah penertiban kelapa sawit di kawasan hutan juga diikuti dengan penyelesaian yang selaras kaidah keberlanjutan dan aturan yang ada. Misalnya saja, penerapan sanksi, pemulihan fungsi kawasan melalui strategi Jangka Benah dan langkah-langkah restorasi lainnya,” kata dia menjelaskan.
Rencana Aksi Daerah Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAD-KSB) di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat juga disebut sebagai bukti konkret mengenai keberhasilan sinergi pemangku kepentingan dalam menjaga daya saing komoditas yang selaras kebijakan keberlanjutan DFC.
Irfan menilai dengan begitu Pemerintah Kabupaten Sintang membuktikan komitmennya terhadap pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan melalui kekuatan kolaborasi antar pemangku kepentingan dan tata kelola yang inklusif.
"Upaya kolaboratif antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat sipil telah mampu menghasilkan solusi yang berdampak positif dan berkelanjutan bagi lingkungan tanpa meninggalkan kesejahteraan masyarakat. Kami mendukung penuh pengembangan model kelapa sawit berkelanjutan melalui pendampingan dan pelatihan kepada petani," kata dia.
Peraturan Bupati mengenai pemetaan indikatif dan pengelolaan areal High Conservation Value (HCV) dan High Carbon Stock (HCS) di Areal Penggunaan Lain (APL) dinilai sebagai wujud kolaborasi pemerintah Kabupaten Sintang dengan WWF-Indonesia.
Melalui inisiatif ini, kata dia, dua kelompok tani Kabupaten Sintang berhasil mendapatkan sertifikasi RSPO melalui KUD Harapan Jaya dan Koperasi Rimba Harapan. Jumlahnya saat ini tercatat ada sebanyak 458 petani yang terhimpun dalam Koperasi Rimba Harapan. Mereka mengelola 1.033,22 hektare lahan kelapa sawit dengan kapasitas produksi 19.764 ton Tandan Buah Segar (TBS) per tahun.
Kedua koperasi yang didampingi oleh WWF-Indonesia telah menggunakan aplikasi pencatatan informasi rantai pasok, legalitas, dan geolokasi yang selaras dengan prinsip serta kriteria RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil). Aplikasi tersebut juga mampu melacak TBS hingga diterima oleh pabrik untuk diolah menjadi minyak kelapa sawit mentah (CPO).
"Dengan demikian, petani dan pelaku usaha dapat memastikan seluruh proses produksi terdokumentasi dengan baik dan transparan. Di masa depan, kami mengharapkan seluruh program berkelanjutan dapat diimplementasikan secara optimal melalui dukungan kuat dan koordinasi efektif antar pemangku kepentingan,” kata Irfan Bakhtiar.
Baca juga: Inggris, Indonesia luncurkan program penguatan komoditas berkelanjutan
Baca juga: Pemerintah dorong produksi komoditas lewat yurisdiksi berkelanjutan
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2025