Jakarta (ANTARA) - Indonesia kehilangan salah satu pilar penting dalam sejarah bulutangkis nasional saat Iie Sumirat, legenda tunggal putra 1970-an, berpulang pada Selasa, 22 Juli 2025, dalam usia 74 tahun.
Kabar duka tentang pemain legendaris yang kemudian menjadi pelatih dan pembina sejumlah juara dunia ini membawa kesedihan mendalam di kalangan komunitas bulutangkis.
Sosok yang akrab disapa "Kang Iie" itu bukan hanya dikenal sebagai atlet nasional berprestasi, tetapi juga seorang pembina tulus yang mengabdikan separuh hidupnya untuk menelurkan generasi penerus di lapangan-lapangan latihan sederhana di Bandung, Jawa Barat.
Namanya memang tak setenar Rudy Hartono atau Liem Swie King, namun di balik banyak juara yang pernah mengharumkan nama Indonesia, ada tangan dingin dan dedikasi seorang Iie Sumirat.
Generasi emas
Lahir pada 15 November 1950 di Bandung, Iie Sumirat mengawali kariernya sebagai pemain tunggal putra di era 1970-an. Ia dikenal sebagai pemain dengan pukulan keras dan akurasi tinggi, serta insting menyerang yang tajam.
Iie menjadi bagian dari generasi emas bulu tangkis Indonesia yang berjaya di pentas dunia.
Puncak prestasinya sebagai pemain datang saat membela Indonesia dalam ajang beregu paling bergengsi, Piala Thomas. Ia menjadi anggota skuad juara pada edisi 1976 dan 1979.
Iie Sumirat juga menjadi bagian dari pemain Indonesia yang mendominasi badminton ketika itu. Hingga muncul istilah The Magnificent Seven buat pemain-pemain Indonesia yang terdiri atas Rudi Hartono, Liem Swie King, Iie Sumirat, Tjun Tjun, Johan Wahyudi, Christian Hadinata, Ade Chandra.
Pada tahun 1977, Iie juga menembus semifinal Kejuaraan Dunia IBF pertama yang diadakan di Malmo, Swedia. Ia mendapat perunggu, kalah dari Flemming Delfs asal Denmark dengan skor 1-15, 17-18
Beberapa gelar juga ia raih sepanjang dekade emasnya, termasuk Singapore Open pada 1972 dan 1973, serta Asian Invitational Championships 1976 di Bangkok, ketika ia mengalahkan pebulutangkis China Hou Jiachang, salah satu pemain terbaik dunia kala itu.
Meski tidak pernah meraih gelar All England, kontribusinya terhadap prestasi beregu Indonesia membuat namanya tercatat dalam sejarah bulutangkis Tanah Air.
Di balik layar
Namun, peran terbesar Iie justru datang setelah ia gantung raket. Ia mengabdikan hidupnya sebagai pelatih dan mentor bagi para pebulutangkis muda.
Ia dikenal sebagai pelatih bertangan dingin yang berhasil mencetak bintang dunia, salah satunya adalah Taufik Hidayat yang mengawali karier bersama klub Sangkuriang Graha Sarana (SGS) Bandung.
Taufik Hidayat, peraih medali emas Olimpiade Athena 2004, adalah murid langsung Kang Iie sejak masa kecil. Di bawah bimbingan Iie dan sang kakak Nara Sujana, Taufik tumbuh menjadi sosok fenomenal dengan teknik pukulan yang indah dan kontrol net yang nyaris sempurna, ciri khas pelatihan khas Bandung yang diwariskan Iie.
“Kang Iie lah yang mampu membuat permainan saya begitu istimewa. Saya akhirnya bisa memiliki pukulan-pukulan istimewa juga berkat polesan Kang Iie. Kang Iie lah yang mengajari saya untuk bisa melakukan pukulan-pukulan istimewa yang tidak bisa ditemui atau diajarkan di berbagai buku tentang teknik-teknik dasar bermain bulutangkis.,” ujar Taufik mengenang sosok Iie Sumirat.
Baca juga: Taufik Hidayat kenang Iie Sumirat sebagai guru dan sosok ayah
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.