HPN sebagai momentum refleksi UU Pers dan relevansinya kini

1 month ago 18

Jakarta (ANTARA) - Di tengah derasnya arus informasi digital dan dinamika politik yang terus berubah, peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini membawa refleksi yang lebih tajam, terutama dalam menyoroti keberadaan dan relevansi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Undang-Undang Pers, selama ini dianggap sebagai sebuah tonggak penting dalam sejarah perjalanan demokrasi Indonesia.

Lahir di tengah semangat reformasi, UU ini menjadi simbol pembebasan pers dari belenggu kekuasaan yang selama masa Orde Baru terbatas ruang gerak jurnalismenya secara lebih kritis.

Namun, seiring waktu, undang-undang ini menghadapi tantangan baru yang memunculkan pertanyaan, di antaranya tentang relevansi UU Pers, keberimbangannya, dan apakah benar-benar menguntungkan bagi kebebasan pers serta kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

Meski begitu, upaya mendorong revisi atas UU Pers agar semakin relevan juga harus berhati-hati dan jangan sampai menjadi pedang bermata dua.

Sebab, meski perlu penyempurnaan, Lukas Luwarso, mantan Sekretaris Eksekutif Dewan Pers, pernah menyatakan kekhawatirannya terhadap agenda revisi UU Pers yang didominasi oleh pemerintah dan politisi.

Ia menekankan bahwa proses revisi sebaiknya dipimpin oleh Dewan Pers untuk memastikan bahwa UU Pers yang baru dapat melindungi kebebasan pers dan tidak menjadi alat kontrol pemerintah.

Padahal, jika disadari secara mendalam, UU Pers saat ini memang benar-benar membutuhkan harmonisasi. Misalnya saja, dari sisi bahwa salah satu kekuatan utama UU Pers terletak pada jaminan kebebasan pers yang tegas. Pasal 4 menegaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

Tidak ada lagi kewajiban sensor atau pembredelan, sesuatu yang dulu menjadi mimpi, sekaligus realitas buruk bagi para jurnalis.

Dalam konteks ini, UU Pers memberikan perlindungan penting bagi kebebasan berekspresi dan akses masyarakat terhadap informasi.

Dengan payung hukum ini, media massa memiliki ruang untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, mengungkap skandal, dan menyuarakan suara-suara yang selama ini terpinggirkan.

Namun, di balik jaminan kebebasan itu, muncul problematika lain yang tidak kalah penting. UU Pers menempatkan Dewan Pers sebagai lembaga independen yang bertugas mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas kehidupan pers nasional.

Dewan Pers diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pers melalui mekanisme hak jawab dan hak koreksi.

Di atas kertas, ini terlihat sebagai langkah maju yang menghindarkan kriminalisasi jurnalis, namun, dalam praktiknya, tidak semua pihak bisa menghormati mekanisme ini.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendokumentasikan 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2023. Jumlah ini menjadi yang tertinggi dalam 10 tahun atau sejak 2014, sehingga menjadi alarm bahaya bagi masa depan kebebasan pers di Indonesia.

Masih banyak kasus di mana jurnalis dipidanakan dengan pasal-pasal di luar UU Pers, seperti pasal pencemaran nama baik dalam KUHP atau UU ITE. Ini menunjukkan masih adanya ketidakseimbangan dalam implementasi hukum yang merugikan kebebasan pers.

Mella Ismelina Farma Rahayu (2005), dalam kajiannya tentang Kebebasan Pers dalam Konteks KUHP (Pidana), menyatakan bahwa idealnya, di negara demokrasi yang menjamin kebebasan pers dan kebebasan-kebebasan dasar lainnya, karya jurnalistik tidak harus menyebabkan wartawan masuk penjara, melainkan hanya dikenai sanksi denda.

Sanksi denda itupun lazimnya dikenakan secara proporsional, sesuai dengan kemungkinan kemampuan finansial pihak perusahaan pers.

Persoalan lain yang muncul adalah soal akuntabilitas dan profesionalisme media itu sendiri.

UU Pers memang mensyaratkan perusahaan pers untuk berbadan hukum dan mendorong penerapan Kode Etik Jurnalistik.

Namun, regulasi ini sering kali tidak diikuti dengan pengawasan yang efektif. Di era digital, banyak media daring bermunculan, tanpa standar profesional yang jelas.

Fenomena clickbait, penyebaran hoaks, dan berita-berita sensasional menjadi bagian dari realitas sehari-hari.

Sayangnya, UU Pers belum cukup responsif terhadap dinamika ini. Tidak ada mekanisme yang jelas untuk menindak media yang menyebarkan disinformasi, tanpa harus mengorbankan kebebasan pers.


Platfom digital

UU Pers juga masih memiliki kecenderungan terfokus pada media arus utama dan kurang memperhatikan perkembangan media digital serta jurnalisme warga.

Saat UU ini disusun, internet dan platform digital memang masih belum menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Kini, dengan maraknya media sosial dan platform daring, batas antara jurnalis profesional dan warga biasa menjadi kabur.

Setiap orang bisa menjadi penyebar informasi, tapi tidak semua memahami etika jurnalistik. Ini menimbulkan tantangan baru yang belum terakomodasi dalam kerangka hukum yang ada.

Misalnya, bagaimana tanggung jawab platform digital dalam menyebarkan berita palsu? Apakah jurnalisme warga juga harus tunduk pada regulasi yang sama dengan media konvensional?

Dari sisi perlindungan terhadap jurnalis, UU Pers memberikan dasar yang cukup kuat, tetapi belum sepenuhnya efektif dalam melindungi para pekerja media dari ancaman fisik, intimidasi, atau kekerasan saat menjalankan tugas.

Kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis di lapangan masih sering terjadi, terutama ketika meliput isu-isu sensitif, seperti korupsi, pelanggaran HAM, atau konflik agraria.

Dalam banyak kasus, aparat penegak hukum kerap terlibat sebagai pelaku intimidasi. Ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum yang tertulis dalam UU Pers tidak cukup jika tidak ada komitmen politik dan budaya hukum yang mendukung di lapangan.

Ada juga soal independensi media yang perlu dikritisi. UU Pers memang mendorong kemerdekaan pers dari intervensi pemerintah, tetapi tidak cukup memperhatikan pengaruh pemilik modal terhadap independensi redaksi.

Banyak media besar di Indonesia, saham atau modalnya dimiliki oleh konglomerasi yang memiliki kepentingan politik atau bisnis tertentu.

Akibatnya, pemberitaan sering kali bias, memihak, atau, bahkan, menjadi alat propaganda terselubung. UU Pers belum memiliki mekanisme yang cukup kuat untuk mengatasi konflik kepentingan ini.

Transparansi kepemilikan media dan regulasi yang mengatur konsentrasi kepemilikan media seharusnya menjadi bagian dari pembaruan undang-undang ini.


Penyempurnaan

Lalu, bagaimana seharusnya UU Pers disempurnakan agar bisa lebih adaptif dan relevan?

Ke depan, sepertinya memang perlu ada harmonisasi regulasi antara UU Pers dengan UU lain, seperti KUHP dan UU ITE, agar jurnalis tidak lagi dikriminalisasi dengan pasal-pasal karet.

Penyelesaian sengketa pers harus sepenuhnya menjadi domain Dewan Pers, tanpa campur tangan pidana, kecuali dalam kasus-kasus yang sangat spesifik, seperti fitnah atau ujaran kebencian yang jelas-jelas melanggar hukum.

Kemudian, UU Pers perlu memperluas cakupannya untuk mengatur dinamika media digital dan jurnalisme warga.

Ini tidak berarti membatasi kebebasan berekspresi di internet, tetapi memberikan kerangka etika yang jelas dan mendorong literasi media di kalangan masyarakat.

Platform digital, seperti media sosial, juga harus diminta turut mengawasi dan bertanggung jawab atas penyebaran berita palsu tanpa mengorbankan prinsip kebebasan informasi.

Selanjutnya, aspek perlindungan terhadap jurnalis harus diperkuat dengan mekanisme yang lebih jelas dan efektif, termasuk perlindungan dari kekerasan fisik dan intimidasi.

Negara harus mampu menjamin keamanan jurnalis sebagai bagian dari komitmen terhadap kebebasan pers.

Hal yang tidak kalah penting, transparansi kepemilikan media harus diatur secara ketat. Ini penting untuk mencegah konsentrasi kepemilikan media yang bisa merusak pluralisme informasi dan mengancam independensi redaksi. Masyarakat berhak tahu siapa yang memiliki dan mengendalikan media yang mereka konsumsi.

Akhirnya, UU Pers harus dilihat bukan hanya sebagai alat hukum, tetapi sebagai fondasi bagi kehidupan berdemokrasi yang sehat. Pers yang bebas, bertanggung jawab, dan profesional adalah pilar penting demokrasi.

Sebab, tanpa pers yang kuat, masyarakat bisa kehilangan salah satu instrumen penting untuk mengawasi kekuasaan dan memperjuangkan kebenaran.

Maka, dengan menyempurnakan UU Pers, sesuai dengan tantangan zaman secara tepat, bukan melulu hanya menjaga kebebasan pers, tetapi juga memperkuat demokrasi itu sendiri.

Ini semata untuk meningkatkan kualitas kehidupan berdemokrasi, memperkuat partisipasi warga negara dan menjamin hak asasi manusia, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |