Jakarta (ANTARA) - Fraksi Partai Golkar DPR RI menerima audiensi pengurus Vibrasi Suara Indonesia (VISI) yang dipimpin Armand Maulana dan Nazril Irham (Ariel NOAH) di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin.
Dalam audiensi tersebut, para musisi dari VISI menyampaikan keresahan mereka atas tata kelola royalti dan praktik perizinan yang dinilai membebani penyanyi, bahkan berpotensi mengkriminalisasi pelaku seni.
Ketua Fraksi Golkar Muhammad Sarmuji menilai aspirasi yang disampaikan VISI sejalan dengan banyak pihak yang menyoroti persoalan transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
“Saya sudah menyimak dua presentasi: AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kami menyerap aspirasi dari semua stakeholder,” kata Sarmuji dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Sarmuji menegaskan bahwa inti persoalan ini terletak pada transparansi tata kelola LMKN. Ia menilai perlunya aturan yang lebih rasional dan berpihak pada semua pihak dalam ekosistem musik.
Ia menilai langkah VISI yang memperhatikan seluruh pemangku kepentingan mulai dari pencipta lagu, penyanyi, hingga penyelenggara konser, adalah sesuatu yang menggembirakan dan layak diformulasikan bersama Fraksi Golkar.
Sarmuji menegaskan komitmen partainya untuk mengawal aspirasi para pencipta lagu. Menurutnya, tata kelola royalti tidak boleh berbelit-belit sehingga merugikan pencipta.
Ia menegaskan agar sistem pembayaran royalti harus sederhana dan memberikan kemudahan. Kalau sistemnya rumit, dunia usaha kesulitan membayar, dan akhirnya pencipta lagu tidak mendapatkan haknya.
Sarmuji menambahkan, dukungan Fraksi Golkar berpijak pada semangat menghadirkan sistem yang adil dan memudahkan semua pihak.
“Sistemnya memang perlu diperbaiki, dan sistem itu harus transparan, berkeadilan, serta memudahkan semua pihak, tidak hanya bagi para pencipta lagu tetapi juga bagi dunia usaha. Memudahkan ini maksudnya, misalnya, dunia usaha—pertunjukan, kafe, restoran, hotel, dan lain-lain—mudah meminta izin menggunakan lagu dari pencipta lagu,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan agar keberadaan aturan tidak menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha.
Dia berharap agar dunia usaha tidak merasa terbebani. Sistem yang sederhana dan jelas akan membuat semua pihak lebih taat sekaligus memastikan pencipta lagu mendapatkan haknya.
Sementara itu, Ketua Umum VISI Armand Maulana menjelaskan akar permasalahan yang menumpuk di dunia musik Indonesia.
“Masalah ini bermula dari ketidaksempurnaan kerja, ketidakkompetenan, dan ketidaktransparanan LMK-LMK serta LMKN di masa lalu,” ujar vokalis grup band GIGI itu.
Akibatnya, muncul berbagai persoalan seperti kasus Agnez Mo yang diwajibkan membayar dan meminta izin setiap kali tampil di atas panggung.
Atas dasar itu, VISI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau pasal-pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta yang pelaksanaannya di lapangan tidak sesuai dengan praktik selama lebih dari satu dekade.
“Performing rights itu bersifat masif, berulang, dan terjadi dalam waktu bersamaan. Jadi meminta izin langsung ke pencipta lagu setiap kali tampil itu tidak realistis dan kontraproduktif,” kata Armand.
Menurutnya, fokus utama seharusnya bukan pada perizinan, melainkan pada tata kelola dan distribusi royalti yang adil dan transparan.
“Sering kali seorang penyanyi diminta mendadak untuk menyanyikan lagu tertentu. Kalau tetap diwajibkan izin di muka, maka harus diberi tenggat waktu, misalnya tujuh hari setelah pertunjukan. Jangan sampai penyanyi, bahkan pelajar yang tampil di pensi, justru dikriminalisasi,” ujarnya.
Armand menilai penekanan berlebihan pada aspek izin justru berpotensi menutupi masalah utama yakni distribusi royalti yang tidak tepat sasaran.
“Perhatian publik dan penyelenggara akan tertuju pada aspek hukum, bukan pada bagaimana hak pencipta dan penyanyi bisa didistribusikan secara adil,” tambahnya.
Menanggapi wacana pembentukan lembaga baru khusus untuk konser, Armand menilai langkah itu tidak akan menyelesaikan masalah.
“Yang penting bukan membuat lembaga baru, tapi memperbaiki tata kelola dan transparansi sistem yang sudah ada,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa kemunculan banyak LMK baru justru bermula dari rasa ketidakadilan dan kurangnya representasi di sistem lama.
VISI, lanjut Armand, memilih fokus pada reformasi sistem dan percepatan digitalisasi pengelolaan royalti.
“Dengan teknologi saat ini, sangat mungkin dibuat sistem digital yang akurat dan transparan. Akar masalahnya bukan di izin, tapi di ketidaktepatan dan ketidaktransparanan distribusi royalti,” tegasnya.
Wakil Ketua Umum VISI, Ariel NOAH, turut menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan untuk memihak satu kelompok, melainkan memperjuangkan keseimbangan hak antara pencipta, penyanyi, dan penyelenggara acara.
“Kita ingin sistem yang adil dan transparan untuk semua pelaku musik. Kalau sistemnya jelas, semua pihak diuntungkan,” ujar Ariel.
Fraksi Golkar berkomitmen menindaklanjuti aspirasi VISI sebagai bagian dari upaya memperkuat ekosistem musik nasional yang sehat, adil, dan berkelanjutan.
“Kami akan formulasikan aspirasi VISI dengan aspirasi AKSI untuk disampaikan ke pemerintah,” kata Sarmuji.
Pertemuan antara Fraksi Golkar dan VISI ini menjadi momentum penting bagi pembenahan tata kelola royalti di Indonesia. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan kebangkitan industri musik, sinergi antara dunia politik dan komunitas musisi menjadi kunci agar keadilan royalti tidak hanya menjadi jargon, tetapi juga kenyataan yang dirasakan semua pelaku seni.
Pertemuan ini juga dihadiri oleh Bendahara Fraksi Sari Yuliati, serta sejumlah pimpinan komisi dari Fraksi Golkar, antara lain Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi VII Lamhot Sinaga, dan Wakil Ketua Komisi XIII Dewi Asmara. Serta Vina Panduwinata dan Sammy Simorangkir yang turut tergabung dalam VISI.
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Agus Setiawan
								Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































