Akrobat fiskal dan jalan baru ekonomi Indonesia

6 hours ago 2
Akrobat fiskal bukanlah pertunjukan politik atau kebijakan coba-coba, melainkan strategi kolektif yang berpijak pada logika ekonomi dan disiplin fiskal yang sehat.

Jakarta (ANTARA) - Kebijakan fiskal selalu menjadi arena paling krusial dalam menentukan arah ekonomi suatu negara.

Di tangan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, kebijakan fiskal Indonesia mulai bergerak dengan gaya yang bisa disebut "akrobatik", bukan dalam arti sembrono, melainkan kemampuan menjaga keseimbangan di tengah tekanan yang saling bertentangan: kebutuhan pertumbuhan, tuntutan stabilitas, dan batas kemampuan fiskal negara.

Langkah-langkah berani mulai terlihat. Salah satunya adalah wacana penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi pelaku perorangan maupun badan usaha. Langkah ini jelas menantang logika fiskal konservatif, tapi punya argumen kuat: daya beli masyarakat akan menguat, margin pelaku usaha membaik, dan efek bergandanya mendorong konsumsi serta investasi.

Tentu, kebijakan semacam ini memerlukan perhitungan matang — bagaimana menjaga rasio pajak agar tetap naik meskipun tarif turun. Inilah keseimbangan yang hendak dicapai: fiskal yang produktif, bukan fiskal yang menekan.

Namun, penyesuaian tarif hanyalah permukaan dari reformasi yang lebih mendalam. Tantangan utama fiskal Indonesia bukan semata pada tarif, melainkan pada efektivitas sistem dan perilaku birokrasi.

Karena itu, pembenahan internal di tubuh Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), menjadi krusial. Profesionalisme, integritas, dan efisiensi adalah tiga pilar utama. Sistem digital perpajakan seperti Coretax perlu benar-benar menjadi sistem cerdas yang mampu membedakan antara wajib pajak yang sengaja menghindar dan mereka yang hanya lalai melapor.

Dengan sistem yang kuat dan digitalisasi yang menyeluruh, ruang interaksi langsung antara wajib pajak dan aparat bisa dipersempit, begitu pula dalam urusan bea dan cukai ketika kelak sistemnya telah terintegrasi.

Harapannya sederhana namun fundamental: tidak ada lagi aparat yang “bermain” dengan wajib pajak besar, dan tidak ada lagi pengusaha kecil yang ditekan karena telat melapor. Begitu pula dalam bea cukai — tidak boleh ada praktik meloloskan barang karena pembelinya pejabat, atau menahan barang impor tanpa alasan jelas yang menambah biaya ekonomi bagi pelaku usaha.

Baca juga: Menguji terobosan Purbaya, dari LPS ke Kemenkeu

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |