Forkopi harap Baleg-Komisi VI DPR segera sahkan RUU Perkoperasian

1 week ago 5
Regulasi koperasi harus tetap melindungi, tanpa menghilangkan semangat gotong royong yang menjadi inti dari koperasi itu sendiri,

Jakarta (ANTARA) - Ketua Presidium Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) Andy Arslan Djunaid mendorong Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Komisi VI DPR untuk segera mengesahkan RUU Perkoperasian atau RUU Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

"Karena sudah 33 tahun undang-undang yang lama dan itu sudah tidak mengakomodir kepentingan dari koperasi pada saat ini," kata Andy saat melakukan konsinyering mengenai penyusunan RUU Perkoperasian bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sebagaimana keterangan di Jakarta, Jumat.

Menurut Andy, undang-undang tersebut sudah terlalu lama dan koperasi membutuhkan regulasi yang baru agar mengakomodir kepentingan-kepentingan mereka saat ini.

Konsinyering tersebut dipimpin Wakil Ketua Baleg DPR Sturman Panjaitan didampingi Wakil Ketua Martin Manurung dan dihadiri puluhan anggota Baleg dari berbagai fraksi di DPR dan juga puluhan anggota Forkopi yang merupakan pengurus koperasi dari sejumlah daerah di Indonesia.

Andy mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai upaya termasuk diskusi dengan banyak pihak, RDPU dengan Baleg DPR RI, termasuk harmonisasi dengan beberapa pihak diantaranya pemerintah.

"Forkopi dari Pontianak, Makassar, Yogjakarta, Lampung, Samarinda, pejuang koperasi berharap kepentingan kami bisa didengar dan diakomodir supaya kami bisa bersama- sama pemerintah mengembangkan koperasi sesuai keinginan Presiden Prabowo yang juga sangat peduli koperasi," harapnya.

Sementara itu, Anggota DPR RI Habib Syarif Muhammad menilai perlu keseimbangan dalam perumusan ketentuan hukum dalam dalam RUU Perkoperasian.

Meskipun penguatan regulasi hukum diperlukan, pendekatan yang terlalu kaku justru dapat menghambat semangat koperasi dan menurunkan partisipasi anggota serta pengurus koperasi.

"Jika regulasi terlalu rigid (pidana), saya khawatir akan mengurangi spirit koperasi. Kita perlu kearifan dalam menyikapi ini, karena koperasi anggota adalah tulang punggungnya," kata Habib.

Habib menyoroti bahwa tantangan hukum sering kali lebih berdampak pada koperasi skala besar, sementara koperasi di tingkat bawah memiliki karakteristik yang berbeda.

"Jika semua disamaratakan dengan pendekatan hukum yang terlalu ketat, koperasi bisa menjadi seperti menara gading yang sulit dijangkau," ucapnya.

Anggota Baleg DPR ini menyebutkan bahwa banyak koperasi kecil yang dikelola dengan semangat gotong royong dan keikhlasan sehingga ketentuan pidana yang terlalu berat bisa menjadi momok bagi pengurus dan anggota.

"Saya sepakat dengan penguatan regulasi, tetapi jika pasal-pasal seperti 64 hingga N diterapkan secara merata, saya khawatir akan banyak orang yang enggan menjadi anggota koperasi, bahkan pengurus sekalipun," katanya.

Menurutnya, harus mempertimbangkan bahwa di tingkat bawah banyak pengurus yang mengelola koperasi secara sukarela. Jika terlalu ketat, mereka bisa merasa terancam.

Lebih lanjut, ia menyinggung bahwa hukum pidana pendek tetap memberikan efek psikologis bagi masyarakat kecil, sehingga perlu pendekatan yang lebih proporsional.

"Regulasi koperasi harus tetap melindungi, tanpa menghilangkan semangat gotong royong yang menjadi inti dari koperasi itu sendiri," imbuhnya.

Konsinyering itu diawali dengan paparan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Prof Angkasa dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Prof Rena Yulia.

Dalam paparannya, kedua akademisi dan pakar hukum pidana itu mengkritisi adanya sanksi pidana penjara dalam RUU Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Prof Angkasa, menyoroti beberapa pasal dalam RUU Perkoperasian yang dinilai berpotensi over-kriminalisasi dan bertentangan dengan prinsip hukum pidana modern.

Prof. Angkasa menjelaskan bahwa kriminalisasi harus dilakukan dengan hati-hati, terutama dalam penerapan pidana penjara pendek.

Menurutnya, berdasarkan teori hukum pidana dan kriminologi, hukuman penjara yang terlalu singkat tidak efektif dalam memberikan efek jera, tetapi justru dapat meningkatkan residivisme.

Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 64M dan 64N, yang mengatur sanksi pidana penjara maksimal 1 tahun bagi pengurus koperasi yang melanggar ketentuan dalam usaha simpan pinjam.

Menurutnya, sanksi itu tidak sejalan dengan konsep ultimum remedium, yaitu menjadikan hukum pidana sebagai pilihan terakhir dalam penyelesaian sengketa.

"Hukum pidana seharusnya digunakan secara proporsional dan hanya sebagai jalan terakhir. Terlalu mudah menjatuhkan sanksi pidana justru bisa merugikan sektor koperasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi kerakyatan," tegas Prof Angkasa.

Sementara itu, Prof Rena menekankan pentingnya perumusan tindak pidana yang jelas dan proporsional, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.

"Rumusan ketentuan pidana harus memenuhi unsur yang tepat, termasuk subjek hukum yang jelas, perbuatan yang dilarang, serta ancaman pidana yang sesuai. Jika tidak dirumuskan dengan baik, hal ini bisa menimbulkan ketidakadilan serta menghambat perkembangan koperasi di Indonesia," ujar Prof Rena.

Ia menyoroti bahwa hukum pidana dalam undang-undang administratif seharusnya hanya bersifat sebagai pengaman norma administratif. Ini berarti larangan atau kewajiban utama harus diatur dalam norma administratif, sementara ancaman pidana hanya menjadi alat untuk menegakkan norma tersebut.

"Hukum pidana tidak boleh digunakan secara berlebihan dalam regulasi administratif. Seharusnya, pidana hanya digunakan untuk menegakkan aturan yang benar-benar penting dan berpotensi menimbulkan kerugian signifikan jika dilanggar," kata Prof Rena.

Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |