Bandung (ANTARA) - Gedung De Majestic yang berdiri di pusat Kota Bandung bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah saksi bisu perjalanan sejarah kota. Usianya sudah hampir seabad sejak gedung itu dibangun pada masa penjajahan Belanda.
Pada plakat yang diukir di dinding bangunan dituliskan bahwa bangunan ini dibangun pada tahun 1925. Akan tetapi, sebuah koran yang bernama De Preanger-bode dan terbit 02 Oktober 1922 menuliskan fakta yang berbeda. Kutipan dalam koran tersebut jika diterjemahkan kurang lebih artinya sebagai berikut:
“Kemarin malam pertunjukan pembukaan bioskop ‘Concordia’ dihadiri oleh para tamu undangan, mulai sore hari”.
Hal tersebut menjadi salah satu bukti bahwa gedung tersebut sudah dibangun sebelum 1925, tepatnya di tahun 1922. Buku berjudul BANDOENG Beeld van een stad yang terbit di tahun 1966, menegaskan hal yang sama bahwa Cancordia dibangun sekitar tahun 1922.
Jejak Concordia dan bukti kejayaan masa kolonial
Sebelum berganti nama menjadi De Majestic, gedung rancangan arsitek Charles Prosper Wolff Schoemaker awalnya dikenal dengan nama Concordia. Fungsi utamanya adalah sebagai pusat hiburan bagi kalangan elite Eropa, khususnya warga Belanda yang tinggal di Bandung.
Nama "Concordia" sendiri sempat menjadi simbol pergaulan kelas atas dengan adanya peraturan bahwa pribumi dilarang hadir dan para penonton yang datang haruslah yang berpakaian rapi. Di masa ini, Concordia menjadi salah satu tempat singgah populer bagi warga Belanda untuk bersantai dan menonton film.
Namun, beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1937 sejarah mencatat perubahan besar terjadi. Dalam arsip surat kabar berbahasa Belanda Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 18 Juni 1937, tertulis bahwa Concordia tengah direnovasi dan akan segera berganti nama menjadi Teater Majestic.
Pembukaan resminya berlangsung meriah pada Kamis, 24 Juni 1937, dengan pemutaran film "Give Me Your Heart" yang dibintangi Kay Francis dan mengundang banyak tamu saat acara pembukaan.
Bioskop pertama film Indonesia
Tak banyak yang tahu bahwa De Majestic menjadi salah satu yang mencatatkan sejarah penting bagi perfilman Indonesia. Di tempat inilah untuk pertama kalinya diputar film Indonesia pertama berjudul Loetoeng Kasaroeng, yang diproduksi pada 1926.
Film yang diangkat dari cerita rakyat Sunda ini menjadi tonggak awal perfilman lokal yang saat itu masih berada di bawah bayang-bayang dominasi film bisu asing.
Karena teknologi film saat itu masih sangat terbatas, pemutaran film sering diiringi orkes mini dan disertai selebaran keterangan cerita, agar penonton bisa mengikuti alur film. Hingga tahun 70-an, De Majestic terus memutar film-film populer dan banyak dikunjungi oleh para muda mudi di zaman itu.
Kejatuhan De Majestic
Seiring berkembangnya teknologi dan munculnya bioskop-bioskop modern di Bandung, De Majestic mulai kehilangan pamornya. Biaya perawatan gedung yang sangat tinggi dan kunjungan penonton yang menurun drastis lambat laun mengubah gedung ini menjadi tempat yang terbengkalai di tahun 1980-an.
Upaya revitalisasi di tahun 2002 menjadi Asia Afria Cultural Centre (AACC) sempat berjalan dengan baik beberapa tahun kemudian sebelum mati suri lewat tragedi AACC 2008.
Bandung yang saat itu sedang menjamur band musik underground seperti Beside banyak menyelenggarakan konser hampir tiap minggu. Dengan tingginya antusiasme penonton saat itu, konser band Beside pada 8 Februari 2008 membeludak membuat kapasitas gedung jauh melampaui batas.
Dari berbagai pemberitaan di media saat itu, ribuan orang mencoba berdesakan masuk, sementara sirkulasi udara sangat minim dan kapasitas gedung yang tidak memadai. Dalam waktu singkat, situasi menjadi tidak terkendali.
Akibat insiden tersebut, dikabarkan sebanyak 11 orang tewas karena sesak napas dan terinjak-injak, sementara puluhan lainnya harus dilarikan ke rumah sakit. Tragedi ini mengejutkan publik dan menjadi pukulan besar dalam manajemen acara hiburan di Bandung.
AACC kemudian ditutup, dan berbagai kegiatan budaya di kawasan itu dihentikan sementara, menjadikan De Majestic bangunan yang perlahan dilupakan.
Revitalisasi dan kebangkitan kembali simbol budaya Bandung
Meski sempat meredup, De Majestic tidak selamanya terkubur oleh waktu. Pada tahun 2010, Pemerintah Kota Bandung menggagas proyek revitalisasi gedung ini sebagai bagian dari upaya pelestarian warisan budaya.
Langkah ini menghidupkan kembali De Majestic sebagai pusat seni dan budaya modern. Tidak hanya bioskop, kini gedung ini dapat digunakan untuk konser musik, pertunjukan teater, pemutaran film independen, diskusi budaya, hingga pameran seni rupa.
Setelah 100 tahun berdiri, gedung ini tidak hanya menjadi pengingat akan masa lalu yang kompleks dan penuh dinamika, tapi juga menunjukkan bagaimana sebuah warisan sejarah dapat hidup berdampingan dengan zaman modern.
Dari tempat eksklusif kolonial, bioskop film pertama, saksi tragedi kemanusiaan, hingga menjadi panggung kreasi anak muda—De Majestic telah melalui semua itu. Gedung ini mengajarkan kita bahwa di balik tiap tembok tua, selalu ada cerita besar yang patut untuk terus dikenang dan diwariskan.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.