Jakarta (ANTARA) - Mengumandangkan adzan pada telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi yang baru lahir merupakan tradisi yang telah lama hidup dalam masyarakat Muslim. Tradisi ini diyakini membawa banyak manfaat spiritual, terutama agar kalimat tauhid menjadi suara pertama yang didengar oleh si bayi, sekaligus sebagai perlindungan dari gangguan jin dan setan.
Namun demikian, tidak semua kalangan umat Islam sepakat dengan pelaksanaan tradisi ini. Sebagian mempertanyakan keabsahan hukumnya karena dinilai tidak didukung oleh hadits shahih secara mutlak. Lantas, bagaimana pandangan para ulama mazhab mengenai hukum adzan untuk bayi yang baru lahir?
Pandangan ulama mazhab
Mayoritas ulama dari tiga mazhab besar, yaitu Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, sepakat bahwa hukum mengadzani bayi yang baru lahir adalah sunnah. Hal ini ditegaskan oleh Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi, Imam Nawawi dari mazhab Syafi’i, serta Syekh Mansur Al-Bahuti dari mazhab Hanbali. Mereka merujuk pada hadits riwayat Abu Rafi’, yang menyebut bahwa Rasulullah SAW pernah mengumandangkan adzan pada telinga Hasan bin Ali saat dilahirkan oleh Fatimah.
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ menyatakan, “Disunnahkan mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi yang baru lahir, baik laki-laki maupun perempuan, dengan lafaz adzan seperti shalat.”
Baca juga: Makkah perpendek jarak adzan dan iqamah selama musim Haji
Sementara itu, mazhab Maliki memiliki dua pandangan. Sebagian ulama Maliki menyatakan hukum mengadzani bayi adalah mubah (boleh), sebagaimana disebutkan oleh Syekh Al-Hattab. Namun sebagian lain dari mazhab yang sama, termasuk Imam Malik sendiri, menyatakan hukumnya makruh karena tidak ditemukan dasar kuat dari hadits yang sahih.
Dalil hadits yang menguatkan
Hadits yang paling sering dijadikan rujukan adalah riwayat Abu Rafi’, “Aku melihat Rasulullah SAW mengadzani telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan oleh Fatimah, dengan adzan shalat.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al-Hakim).
Hadits ini dinilai shahih oleh Imam Al-Hakim dan hasan shahih oleh Imam Tirmidzi. Imam Nawawi pun mencantumkannya sebagai hadits yang kuat dalam kitabnya. Selain itu, hadits riwayat Husein bin Ali menyebut, “Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, lalu mengumandangkan adzan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya, maka ia tidak akan terkena gangguan Ummu Shibyan.” (HR Abu Ya’la).
Baca juga: 8 keutamaan muadzin dalam perspektif Islam
Pandangan tokoh dan hikmah spiritual
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Selatan, Dr. H. Muhammad Tambrin, juga mendukung praktik adzan dan iqamah pada bayi. Dalam kajian virtual bersama madrasah se Banjarmasin, ia menyatakan bahwa adzan ini mengandung hikmah besar. Salah satunya adalah menjaga bayi dari gangguan jin Ummu Shibyan, yang diyakini suka mengganggu bayi dan ibu hamil.
Beliau juga mengutip pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Tuhfatul Maudud, bahwa adzan dan iqamah memiliki makna mendalam karena kalimat pertama yang didengar oleh bayi adalah seruan kepada keagungan Allah SWT dan kalimat syahadat.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum mengadzani bayi yang baru lahir adalah sunnah menurut mayoritas ulama. Hadits-hadits yang mendukungnya meskipun diperselisihkan sebagian, tetap memiliki derajat hasan atau shahih menurut sejumlah ulama besar. Oleh karena itu, tradisi ini patut dipertahankan selama tidak diyakini sebagai kewajiban, melainkan bagian dari syiar keislaman yang membawa hikmah spiritual dan perlindungan bagi sang bayi.
Wallahu a’lam.
Baca juga: Keutamaan dalam kalimat adzan
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.