Jakarta (ANTARA) - Sektor pertanian, saat ini menjadi korban paling rentan akibat perubahan iklim global, sekaligus dituding sebagai penyebab perubahan iklim global.
Kondisi itu membuat para ahli dan petani Indonesia ditantang mewujudkan pertanian berkelanjutan, rendah karbon, dan tangguh terhadap perubahan iklim.
Bangsa Indonesia membutuhkan teknologi yang dapat menopang ketiganya, sekaligus, dengan biaya murah dan mudah diterapkan oleh petani.
Indonesia, sebetulnya memiliki teknologi sederhana, yaitu biochar, yang dapat mengubah wajah pertanian agar tidak lagi dituding sebagai penyebab perubahan iklim. Biochar telah diakui ilmuwan dunia sebagai teknologi kunci pada pertanian regeneratif dan bioekonomi sirkular.
Hal itu karena biochar mampu menyuburkan tanah untuk meningkatkan produktivitas pertanian, sekaligus menyimpan karbon di dalam tanah dalam waktu yang lama, sehingga dapat dicegah terlepas ke atmosfer.
Dengan kata lain teknologi biochar membuat sistem pertanian rendah karbon, seperti yang dicita-citakan banyak pihak.
Berbagai penelitian memang telah membuktikan biochar dapat meningkatkan kesehatan tanah, dengan meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), menjaga pH seimbang, dan meningkatkan kapasitas menyimpan air.
Bochar juga berperan sebagai teknologi carbon dioxide removal (CDR) yang mampu mengunci karbon dalam kondisi stabil dengan murah dan mudah dibuat.
Pantas, saat ini biochar dijuluki sebagai emas hitam yang berharga. Biochar memberi manfaat ganda terhadap lingkungan dan produktivitas, seperti mengurangi emisi metana (CH₄) dan dinitrogen oksida (N₂O) pada lahan sawah, meningkatkan efisiensi pupuk, serta memperbaiki struktur tanah pada agroekosistem tropis yang rentan degradasi.
Bagi dunia industri, biochar juga dapat bermanfaat untuk filterisasi air dan remediasi lahan terkontaminasi polutan.
Penggunaan biochar di Jepang dan Thailand untuk dunia pertanian telah menunjukkan hasil yang konsisten meningkatkan produktivitas, mengurangi input anorganik dan sintetis.
Penelitian terbaru menunjukkan mekanisme penting dalam penyimpanan karbon jangka panjang, melalui konsep microbiome–matrix–microbiome.
Pada mekanisme tersebut, biochar bertindak sebagai matriks stabil yang menyediakan habitat ideal bagi mikroorganisme tanah untuk meningkatkan proses stabilisasi karbon organik.
Sinergi antara biochar dan mikrobioma tanah kemudian menjadikan biochar sebagai teknologi andalan dalam mitigasi perubahan iklim berbasis tanah.
Biomassa melimpah
Bagi Indonesia, sebagai negara dengan basis biomassa melimpah, mulai dari sekam padi, tongkol jagung, cangkang sawit, tempurung kelapa, hingga residu agroforestri, berpotensi besar mengembangkan biochar sebagai teknologi pengungkit produktivitas pertanian dan mitigasi perubahan iklim.
Meskipun demikian, harus diakui variabilitas kualitas yang signifikan akibat perbedaan bahan baku, proses pirolisis, dan proses pasca-produksi masih menjadi kendala dalam adopsi yang lebih luas, termasuk dalam pemanfaatan biochar untuk pasar karbon domestik dan internasional.
Sebetulnya, riset biochar di Indonesia juga telah dilakukan di berbagai daerah yang menunjukkan dampak positif yang nyata.
Pada demplot GENTA ORGANIK serta teknologi Biotron, aplikasi biochar mampu meningkatkan hasil panen padi hingga 8–36 persen, sekaligus menekan kebutuhan pupuk hingga 20–60 persen.
Dosis aplikasi yang umum digunakan adalah 5–10 ton/ha untuk tanaman pangan dan 10–20 ton/ha untuk hortikultura dan tanaman tahunan, menyesuaikan karakteristik tanah dan pola tanam.
Dari sisi ekonomi nasional, pengurangan ketergantungan pada pupuk anorganik melalui pemanfaatan biochar berpotensi menghemat biaya hingga USD 4,6 miliar per tahun.
Pemanfaatan limbah biomassa, seperti sekam padi untuk produksi biochar juga berpotensi menghasilkan nilai kredit karbon mencapai USD 565 juta per tahun.
Dengan manfaat agronomis, ekonomi, dan lingkungan yang berjalan secara simultan, biochar menjadi salah satu solusi paling strategis untuk memperkuat ketahanan pangan, meningkatkan kesejahteraan petani, dan mendukung target pembangunan rendah karbon Indonesia.
Standar mutu
Meskipun manfaat dan potensinya sangat besar, pengembangan biochar di Indonesia masih menghadapi hambatan teknis dan kelembagaan.
Belum adanya Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berlaku untuk berbagai jenis bahan baku biomassa menyebabkan ketidakkonsistenan kualitas antar-produsen.
Di sisi lain, sistem measurement, reporting, verification (MRV) untuk kredit karbon berbasis biochar masih terbatas pada skala percontohan, sementara kapasitas laboratorium terakreditasi nasional belum memadai untuk memenuhi kebutuhan industri yang berkembang pesat.
Tentu, dibutuhkan standar nasional ketika biochar diproduksi dan dikembangkan secara komersial.
SNI biochar berbahan baku kayu hutan yang telah disusun sebelumnya berbasis metode analisis proksimat menjadi acuan penting. Standar ini perlu diperluas agar mencakup berbagai sumber biomassa pertanian dan agroindustri yang menjadi ciri khas Indonesia.
Analisis proksimat berperan penting untuk menentukan parameter karbon tetap (fixed carbon/FC), volatile matter (VM), abu, serta prediksi suhu pirolisis yang kemudian dapat dihubungkan dengan parameter IPCC untuk pelaporan karbon, seperti FC dan Fperm.
SNI biochar juga dapat berbeda-beda, tergantung tujuan. Standar untuk pertanian tentu berbeda dengan biochar untuk filterisasi air maupun remediasi lahan terkontaminasi polutan.
Kolaborasi antara asosiasi, seperti Asosiasi Biochar Indonesia (ABI), peneliti, pemerintah, maupun luar negeri, tata kelola biochar nasional yang kredibel harus diperkuat.
Hal tersebut untuk membuka peluang integrasi produksi biochar skala petani ke dalam mekanisme kredit karbon, terutama di kawasan ASEAN.
Dukungan standardisasi, sertifikasi, pelatihan produksi, serta teknologi pirolisis ramah lingkungan, biochar dapat menjadi solusi inklusif yang menguntungkan petani kecil, sekaligus memperkuat aksi iklim regional.
Dengan demikian, sektor pertanian tidak lagi harus dituding sebagai penyebab perubahan iklim global.
*) Prof Dr Dedi Nursyamsi, MAgr adalah penyuluh di Kementerian Pertanian dan Dr Destika Cahyana adalah peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































