Jakarta (ANTARA) - Sebagai pembelajaran, reklamasi lahan dengan jenis tanah sulfat masam telah dilakukan pada abad ke-18 oleh Pemerintah Belanda.
Inilah cikal bakal yang menjadikan Belanda sangat berpengalaman dalam pembukaan lahan rawa. Reklamasi lahan rawa di Belanda merupakan yang tertua di Eropa pascarenaisans.
Danau raksasa terkenal bernama Haarlemmermeer yang merupakan gabungan dari 4 danau dengan kedalaman 4 meter dengan lantai dasar berupa tanah liat (clay), meskipun sebagian lagi berupa rawa gambut di sisi utara Sungai Rhine.
Banjir akibat meluapnya danau ini selalu menjadi hal yang menakutkan bagi masyarakat sekitar Haarlemmermeer.
Rencana reklamasi dimulai 1641, kemudian menguat pada tahun 1643 ketika Jan Adriaanszoon, seorang insinyur, mengusulkan untuk membuat tanggul dan mengeringkan danau.
Upaya untuk membuat tanggul dan mengeringkan danau terus dilakukan hingga ratusan tahun karena masih menggunakan peralatan manual.
Ketika teknologi mesin uap mulai berkembang, 3 mesin pompa, yang kemudian tercatat terbesar sepanjang sejarah, dengan tenaga uap didesain untuk melakukan pengurasan danau.
Danau itu kering pada 1 Juli 1852. Seluruh area seluas 170,36 km2 yang diambil dari perairan/danau dijual kepada masyarakat membawa 9.400.000 gulden yang persis menutupi biaya pengurasan.
Perlu 210 tahun hanya untuk mengeringkan, namun memunculkan masalah baru terkait dengan lahan.
Lahan menjadi sangat masam dan menimbulkan keracunan bagi tanaman dan bahkan kualitas air jadi buruk. Ini merupakan suatu hal yang disebabkan karena adanya apa yang disebut kattekley (cat clay) karena warna tanahnya yang seperti kotoran kucing dan belakangan diketahui terjadi akibat oksidasi mineral yang terkandung di tanah rawa yang disebut pirit.
Hal ini mengakibatkan banyak masyarakat khususnya petani mengalami kegagalan bertani sehingga terjadi bencana kelaparan bahkan menyebabkan kematian ribuan orang di Harlemmermeer.
Namun dengan ketekunan para ahli pertanian Belanda, persoalan dapat diselesaikan sehingga kawasan Harlemmermer menjadi kawasan pertanian penghasil cuan bagi Belanda.
Cerita Vietnam
Delta Mekong di Vietnam punya cerita yang hampir serupa bagaimana pengembangan rawa dilakukan sehingga Vietnam menjadi penghasil dan eksportir beras utama di dunia.
Dengan penggunaan tenaga uap, pengerukan Delta Mekong di bawah pemerintahan kolonial Perancis dimulai pada 1880-an, sehingga dilaporkan antara tahun 1890 hingga 1930, lebih dari 165 juta meter kubik tanah dikeruk dan total area yang ditanami naik empat kali lipat hingga lebih dari 2 juta hektar.
Reklamasi dihentikan pada tahun 1930 karena persoalan ekonomi, politik, dan lingkungan. Perang Vietnam menambah derita Delta Mekong menyebabkan kawasan delta terhenti perkembangannya.
Setelah perang, Master Plan Delta Mekong dikeluarkan untuk membangun kembali Delta di bawah komite Mekong yang didukung oleh Amerika dan Belanda.
David Lilienthal, yang dikenal selama tahun 1960-an sebagai arsitek Tennessee Valley Authority dan di media dikenal sebagai 'Mr TVA' ditunjuk oleh Presiden Lyndon B. Johnson menerima kontrak untuk menyelenggarakan pertemuan dengan officials Vietnam untuk membangun Delta Mekong.
Awalnya Mr. TVA skeptis dengan keberhasilan proyek, tetapi setelah melihat kearifan lokal petani Vietnam, dia mulai percaya bahwa pengembangan Delta Mekong bisa berhasil.
Skema 'tanggul Belanda' yang telah diterapkan oleh pemerintah kolonial dan pemerintah Vietnam bersatu, dan kemudian kampanye “Rice everywhere” yang dicetuskan oleh pemerintah semakin mendorong keberhasilan pengembangan Delta Mekong.
Meskipun banyak tantangan yang dihadapi, termasuk dijumpainya persoalan yang sama seperti di Belanda yaitu adanya catclay tanah beracun yang terbentuk oleh suatu mineral yang disebut pirit sehingga juga menimbulkan kekurangan pangan di kawasan tersebut.
Namun ketekunan para ahli yang terlibat utamanya para peneliti Belanda dan Vietnam, persoalan dapat diselesaikan.
Sejak 1986 kawasan Delta Mekong menjadi produktif tidak hanya adanya intervensi riset terhadap tanah dan tata air tetapi juga utamanya dipicu oleh beragam kebijakan yang positif dan berkesinambungan.
Sejak itu, kawasan Delta Mekong merupakan kawasan paling produktif untuk padi dan aquaculture di dunia, masing-masing menyuplai lebih dari 70 persen dan 50 persen Vietnam foreign export.
Thailand juga memiliki sawah rawa pasang surut yang serupa dengan Delta Mekong Vietnam, yaitu kawasan Delta Chao Phraya.
Persoalan tanah juga dialami oleh masyarakat awal yang melakukan penanaman di lahan rawa Delta Chao Phraya. Peneliti Belanda Dr. van Bremen dan timnya pada tahun 1970an melakukan riset khusus terkait dengan persoalan tanah di Delta Chao Phraya.
Ternyata serupa dengan Belanda dan Vietnam mereka juga menemukan catclay yang disebabkan oleh mineral pirit penyebab kemasaman tanah ekstrem.
Diketahui bahwa mineral pirit punya sifat yang khas yaitu akan menjadi catclay jika kering (oksidasi) tetapi tidak berbahaya jika selalu basah (reduksi).
Dari sinilah dirancang sistem tata air yang dapat menjaga pirit tidak kering. Jika kedalaman pirit diketahui maka sampai pada batas itulah air harus dipertahankan.
Sawah di Indonesia
Indonesia juga melakukan pembukaaan lahan rawa besar-besaran pada tahun 1970-1980an dengan para profesor serta akademisi yang terlibat juga menemukan persoalan yang hampir serupa yang dialami di Belanda, Vietnam, maupun Thailand.
Prof. Tejoyuwono Notohadiprawiro (almarhum), Guru Besar UGM yang terlibat langsung di P4S Kalimantan Selatan/Tengah menyebutkan bahwa “Hampir semua yang muskil muncul di lahan rawa sehingga patut menjadi pembiakan persoalan pengelolaan tanah secara paripurna”, katanya. Ini menunjukkan bahwa betapa banyaknya persoalan yang dihadapi pada saat awal membuka lahan rawa.
Mengutip data yang disampaikan oleh Prof. Robiyanto pada saat pengukuhan Guru Besar pada Universitas Sriwijaya (2010), selama periode 1970-1980-an Proyek P4S telah membuka lahan rawa seluas 1,8 juta ha.
Sawah di Indonesia bertambah drastis sehingga terjadi lonjakan produksi padi. Dan ini diganjar dengan penghargaan FAO pada tahun 1986 dengan keberhasilan swasembada pangan.
Suatu legacy bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia yang tidak cukup untuk dikenang tetapi harusnya menjadi fokus pembangunan bagi pemerintahan saat ini maupun masa akan datang.
Tanah rawa yang dijadikan sawah di Vietnam dan Thailand serupa dengan yang di Indonesia. Juga serupa dengan yang ada di Belanda. Belanda butuh waktu 400 tahun, Vietnam, dan Thailand hampir 100 tahun untuk berhasil menjadikan tanah rawa tersebut produktif.
Indonesia membuat produktif kurang dari 100 tahun. Bedanya adalah fokus dan komitmen untuk mempertahankan sawah pasang surut tersebut.
Kawasan Herlemmermeer tetap menjadi kawasan pertanian dengan pengaturan water table yang cukup tinggi hampir dekat permukaan.
Delta Mekong dan Delta Chao Phraya juga menjadi kawasan padi dan kombinasi dengan aquaculture dengan sistem tata air yang sebagian dibantu penggunaan pompa-pompa kecil (yang juga berfungsi jadi mesin perahu kecil) untuk menaikkan air ke lahan.
Sawah pasang surut mereka malah semakin produktif dengan kebijakan yang positif. Kedua negara tetangga pengekspor beras ini bahkan berinisiatif menambah luas sawah mereka. Thailand merencanakan tambahan luas sawah 500.000 ha dari 9,2 juta ha yang sudah ada.
Local genieous di Indonesia dalam mengelola lahan sulfat masam sudah cukup. Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Ilir keduanya di Sumatra Selatan, mampu memproduksi padi rawa mencapai 7-8 ton/hektare, hanya dengan mengatur muka air tanah.
Saat ini petani mampu berproduksi dua kali padi dan sekali jagung dalam setahun. Artinya lahan rawa pasang surut sulfat masam menjadi lahan sawah produktif seperti lahan sawah biasa.
Sikap bijak (wisdom) ini yang perlu ditransformasi ke lahan bukaan baru, dan hal yang paling fundamental adalah petani dan pengambil kebijakan yang mengerti seutuhnya tentang budi daya tanaman di lahan sulfat masam. Serahkan kepada ahlinya.
Alih fungsi lahan
Sawah rawa pasang surut di Indonesia dengan tata air sistem garpu di Kalimantan dan sistem sirip ikan di Sumatra yang dirancang masing-masing oleh UGM dan ITB telah berhasil menjadikan kawasan-kawasan rawa pasang surut seperti di Delta Telang, Sumsel maupun daerah Terantang di Kalimantan Selatan cukup produktif menyuplai tidak hanya beras tetapi juga jeruk siam.
Tetapi kawasan-kawasan sawah rawa pasang surut yang direklamasi pada masa 1970-1980an tersebut sekarang harus bersiap menghadapi tantangan yang lebih menakutkan dibandingkan tantangan yang pernah dihadapi para Profesor dan akademisi UGM dan IPB/ITB yakni alih fungsi lahan sawah.
Para profesor dan akademisi saat itu menggunakan otak dan kecerdasannya untuk menyelesaikan masalah yang dijumpai di lapangan, tetapi hantu alih fungsi hanya dapat diselesaikan dengan komitmen dan kebijakan pemimpin.
Data yang disampaikan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementan menunjukkan bahwa alih fungsi sawah terbesar di Sumatra dan Kalimantan adalah ke perkebunan kelapa sawit.
Alih fungsi sawah 2013-2019 dilakukan dengan overlay luas baku sawah 2013-2019 dengan citra satelit (CSRT) 2019/2020. Di Sumatra sawah yang beralih fungsi sekitar 401.706 ha dimana 74 persen beralih ke perkebunan kelapa sawit.
Sementara di Kalimantan ada sekitar 121.957 ha yang beralih fungsi. Provinsi Sumsel menyumbang alih fungsi terbesar yaitu 124.056 ha.
Tantangan yang seharusnya dapat diselesaikan karena sudah ada regulasi berupa undang-undang yakni UU Nomor 41/2008.
*) Penulis adalah Analis Kebijakan di Kementerian Pertanian (Kementan) dan Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Pertanian (BRIN).
Copyright © ANTARA 2025