Beban biaya penyakit akibat rokok lebih tinggi dari pajak iklan rokok

1 week ago 8

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa beban biaya yang dikeluarkan untuk menanggung penyakit akibat rokok di sebagian besar daerah lebih tinggi dari penerimaan pajak iklan rokok.

"Pajak dari iklan rokok daerah itu hanya sekitar Rp150 juta, sedangkan pengeluaran mereka untuk penyakit akibat rokok kurang lebih Rp5,4 miliar," kata Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Benget Saragih dalam temu media di Jakarta, Kamis.

Ia juga mengemukakan berdasarkan pernyataan dari kepala dinas kesehatan di 50 kabupaten/kota, pengeluaran rumah tangga terbesar di daerahnya untuk rokok, lebih tinggi dari pengeluaran rumah tangga lainnya seperti makanan sehat yang mengandung protein.

"Pengeluaran nomor satu di Sumatera Barat itu untuk rokok, padahal pendapatan dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) tidak seberapa dibandingkan dampak penyakit akibat merokok yang bisa menghabiskan biaya sampai Rp5,4 miliar per tahunnya," ucapnya.

Baca juga: Kemenkes: Rokok elektronik bukan alternatif untuk berhenti merokok

Ia juga memaparkan berdasarkan hasil survei pada tahun 2017, penerimaan negara dari rokok sebesar Rp147 triliun, tetapi pengeluaran untuk penyakit akibat merokok sebesar Rp435 triliun.

"Ada 21 penyakit akibat perilaku merokok, termasuk rawat jalan dan rawat inap. Kemudian dampaknya itu, karena dia tidak bekerja (akibat sakit), jadi kebutuhan sehari-hari mereka hilang kan, tidak terpenuhi, sehingga dari yang dihisap itu (rokok), mereka bisa kehilangan pendapatan," tuturnya.

Untuk itu, Benget menegaskan pentingnya implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mengatur dengan ketat tentang rokok elektronik maupun rokok konvensional.

Kemenkes juga tengah memperjuangkan dan mengadvokasi agar peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok dapat meningkat dari 30-40 persen menjadi 80 persen.

Baca juga: Kemenkes: Kemasan terstandar rokok dapat kurangi perokok anak

Selain itu, Benget juga menekankan pentingnya penerapan kemasan rokok terstandar untuk mengurangi prevalensi perokok anak.

"Standardisasi kemasan itu bisa mengurangi daya tarik produk, meningkatkan efektivitas kampanye untuk mengurangi perokok, serta membantu menurunkan perokok baru," ujar dia.

Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, jumlah perokok di Indonesia sebanyak 70,2 juta, dimana 63,1 juta di antaranya merupakan perokok dewasa, sedangkan 5,9 juta lainnya perokok anak (usia 10-18 tahun). Ini menempatkan Indonesia sebagai pasar rokok terbesar ketiga di dunia, padahal, enam dari 10 kematian di Indonesia disebabkan oleh perilaku merokok.

Baca juga: Praktisi: Produk tembakau alternatif bantu transisi berhenti merokok

Baca juga: Indodata: Peredaran rokok ilegal rugikan negara Rp97,81 triliun

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |