Jakarta (ANTARA) - Kota Depok, yang terletak di sebelah selatan Jakarta, memiliki sejarah dan asal usul nama yang menarik. Nama "Depok" bukan hanya sekadar identitas suatu kota, namun juga memiliki perjalanan panjang yang melibatkan budaya lokal dan pengaruh kolonial.
Nama "Depok" memiliki beberapa versi asal usul. Salah satu versi yang paling dikenal adalah bahwa kata "Depok" berasal dari bahasa Sunda "padepokan", yang berarti pertapaan.
Di sisi lain, ada juga versi nama Depok berasal dari singkatan De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen, yang berarti "Organisasi Kristen Protestan Pertama"
Singkatan ini muncul pada tahun 1950-an, terutama pada kalangan masyarakat Depok yang tinggal di Belanda.
Versi ini pun berkaitan dengan sejarah Cornelis Chastelein, orang Belanda yang mendirikan komunitas Kristen di wilayah tersebut.
Baca juga: Daftar lokasi dan harga BBM terbaru SPBU BP-AKR di Depok
Sejarah perkembangan Kota Depok
Cornelis Chastelein lahir di Amsterdam pada 10 Agustus 1657. Sejak usia muda, ia memiliki keahlian dalam dunia perdagangan dan administrasi keuangan.
Pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) sebagai Boekhouder-Kamer XVII, yang bertanggung jawab atas pembukuan di Kamar Dagang VOC.
Seiring waktu, Cornelis memutuskan untuk meninggalkan Belanda dan menuju Batavia, pusat pemerintahan VOC di Asia.
Ia tiba di Batavia pada 16 Agustus 1675 dan bergabung dengan VOC sebagai pemegang buku di Kamer van Zeventien untuk mengatur keuangan perdagangan kolonial Belanda.
Karier Cornelis terus meningkat di VOC. Tahun 1682, ia memperoleh jabatan sebagai groot winkelier atau saudagar besar. Tak lama kemudian, ia naik pangkat menjadi tweede opperkoopman atau saudagar senior kelas dua, jabatan yang banyak diincar dalam dunia perdagangan VOC.
Meski telah mencapai posisi tinggi dan berhasil memiliki kekayaan yang besar, Cornelis mulai merasa tidak nyaman dengan kebijakan eksploitasi VOC terhadap penduduk pribumi.
Pada tahun 1691, ia memilih mengundurkan diri dari VOC dan meninggalkan kehidupan sebagai pejabat kolonial.
Setelah keluar dari VOC, Cornelis fokus ke dunia pertanian. Ia pun membeli beberapa lahan partikelir di berbagai wilayah, termasuk di Gambir, Senen, Sering-sing, dan Mampang.
Pada tahun 1696, Cornelis membeli tanah luas di kawasan Depok. Untuk mengurus tanahnya itu, alih-alih mempekerjakan tenaga kerja secara paksa, ia mengadopsi dan memperlakukan para pekerja pribumi dengan lebih baik.
Baca juga: Baznas Depok alokasikan Rp1 miliar untuk UMKM
Karena tanah yang ia miliki begitu luas dan butuh tenaga pekerja lebih, Cornelis mendatangkan sekitar 150 budak dari berbagai daerah di Timur Nusantara, termasuk Bali, Sulawesi, Makassar, Bugis, dan Timor.
Selain itu, Cornelis juga menyebarkan ajaran Protestan terhadap para pekerjanya dan membentuk komunitas Kristen di wilayah tersebut.
Sebelum meninggal pada 18 Juni 1714, Cornelis telah menulis wasiat yang mengatur pembagian kepemilikan tanahnya.
Berbeda dari kebiasaan kolonial yang umumnya mewariskan tanah kepada sesama bangsawan atau keluarga dekat, Cornelis memilih untuk mewariskan tanahnya dalam bentuk kepemilikan bersama kepada para pekerja yang telah setia bekerja dengannya.
Selain itu, ia juga mengatur agar para pekerja yang sebelumnya hidup sebagai budak dapat dimerdekakan dan hidup mandiri. Hingga akhirnya, mereka pun menjadi penduduk asli Depok.
Kini, Depok telah berkembang menjadi bagian dari kawasan metropolitan Jabodetabek dan menjadi salah satu kota yang modern. Bahkan, dikenal sebagai lokasi kampus ternama di Indonesia yakni Universitas Indonesia (UI).
Keputusan Cornelis Chastelein untuk menciptakan kehidupan pribumi yang lebih adil dan manusiawi di Depok menjadi bagian penting dalam sejarah kota ini.
Jejak sejarahnya dapat ditemukan dalam berbagai budaya Depok sebagai salah satu kota dengan latar belakang sejarah yang unik, demikian mengutip Pemkot Depok.
Baca juga: UI dan McGill University Kanada kolaborasi riset kesehatan global
Baca juga: Mendikdasmen kagum dengan digitalisasi Pesantren Cendekia Amanah Depok
Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025