Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra mendorong revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) lama soal ketentuan dua alat bukti.
Ia menilai bahwa ketentuan dua alat bukti ditambah keyakinan hakim yang diatur dalam KUHAP saat ini berpotensi melahirkan asas praduga bersalah yang bertentangan dengan prinsip hukum modern.
Hal itu disampaikan Soedeson dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI bersama Kementerian Hukum dan HAM serta Komnas HAM di Ruang Rapat Komisi III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin.
“Kalau kesaksian hanya dianggap bagian dari penilaian hakim, lalu ditambah keyakinan hakim, ini tipikal sistem kita yang masih mengarah pada presumption of guilty. Padahal sistem hukum seharusnya menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah,” kata Soedeson di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin.
Menurutnya, kelemahan sistem pembuktian ini telah lama menjadi sorotan karena membuka ruang bagi putusan yang tidak objektif.
Ketentuan “dua alat bukti ditambah keyakinan hakim” sering kali dipandang tidak memberikan kepastian hukum, sebab keyakinan hakim bisa sangat subjektif dan tidak selalu berpijak pada fakta yang terukur.
Baca juga: Anggota Komisi III: Pemberian remisi untuk Setnov hak terpidana
Baca juga: Anggota DPR minta pemerintah beri perhatian anggota Polri di Papua
Baca juga: Legislator apresiasi Polri tangguhkan penahanan mahasiswi kasus meme
Soedeson menilai, kelemahan tersebut harus menjadi perhatian serius dalam pembahasan RUU KUHAP yang sedang berlangsung.
Ia mengingatkan bahwa tanpa perbaikan mendasar, sistem hukum akan tetap berisiko menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat, khususnya bagi pihak yang berhadapan dengan proses peradilan pidana.
“Kalau kita tidak hati-hati merumuskan ulang, KUHAP hasil revisi nanti bisa tetap meninggalkan celah yang sama. Itu akan melemahkan kepercayaan publik pada hukum dan aparat penegak hukum,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pembuktian yang kuat dan jelas merupakan fondasi dari sistem peradilan yang adil.
Karena itu, ia mendorong agar rumusan baru sistem pembuktian dalam RUU KUHAP benar-benar memperhatikan standar hukum universal, praktik terbaik di berbagai negara, sekaligus sesuai dengan konteks kebutuhan Indonesia.
Soedeson berharap dengan perbaikan sistem pembuktian, RUU KUHAP dapat menghadirkan keadilan substantif, menjamin hak-hak terdakwa, dan pada saat yang sama menjaga integritas peradilan pidana nasional.
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.