Akademisi UGM sebut perang tarif peluang RI jadi negara basis produksi

4 hours ago 3
Indonesia sebagai negara emerging economy kita harus mampu melihat, memetakan peta politik dan ekonominya.

Jakarta (ANTARA) - Peneliti pada Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada (UGM) Ronald Eberhard menyampaikan dinamika perang tarif yang terjadi dalam perdagangan internasional saat ini, merupakan peluang bagi Indonesia untuk menjadi negara produsen manufaktur di berbagai sektor.

Dirinya dalam webinar dampak kuota impor yang dipantau dari Jakarta, Senin, menyampaikan perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dengan China telah membuat peta perdagangan dunia berubah, dan hal ini membuat banyak investor global mencari lokasi penanaman modal baru yang dikenakan tarif rendah.

"In fact Indonesia itu sebenarnya dikenakan tarif balasannya rata-rata 32 persen. Itu lebih rendah dibandingkan pesaing kita yang terdekat contoh seperti Vietnam 46 persen. Sebenarnya ada dari konstelasi ini peluang untuk kita mengambil keuntungan dari perang dagang," katanya lagi.

Oleh karena itu, untuk memaksimalkan potensi yang ada agar Indonesia bisa menarik investasi dari relokasi, dikatakannya Pemerintah perlu melakukan negosiasi yang tak hanya berfokus kepada AS saja, melainkan turut melakukan pendekatan ke negara lain, seperti China, dan negara-negara anggota ASEAN.

"Indonesia sebagai negara emerging economy kita harus mampu melihat, memetakan peta politik dan ekonominya. Karena ketegangan dagang ini akan menciptakan pergeseran arus perdagangan, perubahan global supply chain, dan regional value chain," ujar dia. pula

Selain itu, disamping mengambil posisi sebagai negara basis produksi, menurutnya Indonesia juga perlu mewaspadai ancaman produk impor negara lain, dengan memperkuat hambatan dagang berupa nontariff measure/barrier.

"Salah satu dampak terbesar dari kebijakan tarif Amerika ini yang kita takutkan adalah lonjakan impor dari barang-barang yang tadi masuk ke Amerika karena tarif tinggi masuk ke negara-negara ketiga seperti Indonesia," katanya pula.

Pemerintahan Donald Trump telah mengenakan tarif hingga 245 persen atas barang-barang impor dari China, sementara China membalas dengan tarif sebesar 125 persen terhadap produk-produk AS.

Sementara Trump telah memberi negara-negara lain jeda tarif selama 90 hari, karena para pemimpin negara tersebut berjanji untuk bernegosiasi dengan AS, meski China tetap menjadi pengecualian.

Sebaliknya, Beijing menaikkan tarifnya dan menerapkan langkah-langkah ekonomi lainnya sebagai wujud pernyataan untuk "berjuang sampai akhir" misalnya dengan membatasi ekspor mineral tanah jarang dan mengajukan sejumlah tuntutan kasus terhadap AS di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Dana Moneter Internasional (IMF) pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi global menjadi hanya sebesar 2,8 persen untuk 2025 karena perang tarif tersebut.

Baca juga: Rupiah menguat seiring perang tarif AS-China melunak

Baca juga: Ekonom: Pertanian dan MBG jaga ekonomi RI di tengah perang tarif

Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |