Akademisi: Pendamping desa jadi caleg dan tak mundur berpotensi pidana

9 hours ago 6

Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Kristen Indonesia (UKI) Prof. Dr. Mompang menyampaikan bahwa Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang tidak mengundurkan diri saat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2024 berpotensi menghadapi sanksi pidana.

Prof Mompang dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin, menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oknum TPP atau pendamping desa tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi jika mereka terbukti menerima gaji atau honor secara melawan hukum.

“Apabila seseorang memperoleh penghasilan atau gaji dari uang negara secara melawan hukum sesuai sifat melawan hukum formil, maka perbuatan tersebut adalah tindak pidana korupsi, karena memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,” ujar dia.

Hal tersebut merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV Tahun 2006 dan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca juga: Pakar: Tidak ada larangan nyaleg bagi TPP desa

Baca juga: Komisi V dukung penuh Mendes evaluasi TPP yang terbukti nyaleg

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum formil itu dapat berakibat pada tiga bentuk keuntungan yang tidak sah, yaitu memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, atau memperkaya korporasi.

Dalam konteks itu, ujar dia, jika seorang TPP tetap menerima gaji atau honor setelah ditetapkan sebagai calon tetap anggota legislatif tanpa mengundurkan diri, yang bersangkutan dinilai telah menikmati kekayaan yang diperoleh secara melawan hukum.

"Oleh sebab itu, dalam hal TPP yang bersangkutan masih menerima gaji dan honor tapi tidak mengundurkan diri saat pencalonan dulu secara hukum. Sepantasnya, TPP yang bersangkutan mengembalikan gaji atau honor yang telanjur diterima terhitung sejak ia resmi menjadi calon anggota tetap," ucap dia.

Jika tidak dilakukan, menurut dia, perbuatan tersebut dapat dianggap sebagai bentuk tindak pidana korupsi karena yang bersangkutan telah kehilangan status, hak, dan kewenangannya sejak ditetapkan sebagai calon tetap.

Prof Mompang juga mengatakan bahwa dari perspektif hukum administrasi, TPP yang terbukti melanggar ketentuan itu juga tidak dapat melanjutkan kontraknya. Hal tersebut merujuk pada Pasal 240 ayat (1) huruf k UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mewajibkan calon legislatif dari kalangan tertentu, termasuk tenaga pendamping profesional, untuk mengundurkan diri sebelum pencalonan.*

Baca juga: Mendes: Evaluasi TPP yang nyaleg demi pastikan profesionalitas

Baca juga: Pakar nilai persoalan kontrak TPP jadi kewenangan penuh Kemendes

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |