Jakarta (ANTARA) - Presiden Industri Energi Asia ABB Anders Maltesen menyoroti kompleksitas yang dimiliki Indonesia dan kawasan Asia Tenggara dalam hal transisi energi.
Menurut Maltesen, setiap negara memiliki situasi dan keunikan yang berbeda-beda, mulai dari besaran wilayah, letak geografis, yang nantinya akan memengaruhi seperti apa bentuk investasi ke transisi energi.
“Negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia, menunjukkan kemajuan (dalam hal transisi energi), tentu kita ingin ini berjalan cepat, tapi ini adalah hal yang kompleks,” kata Maltesen saat ditemui di Jakarta, Selasa (4/3) malam.
“Banyak pemangku kepentingan, teknologi, dan keterjangkauan. Selain itu, situasi dan akses untuk energi terbarukan setiap negara juga berbeda-beda,” ujar dia menambahkan.
Baca juga: ABB: Bauran EBT Indonesia bergantung pada solusi efisiensi energi
Namun, Maltesen mengatakan bahwa hal menarik yang dimiliki Indonesia adalah banyaknya kekayaan sumber daya energi baru terbarukan (EBT), seperti panas bumi (geothermal), tenaga surya, hingga tenaga angin.
Ia melanjutkan, Indonesia berada di garis depan transisi energi dengan peran pentingnya dalam membentuk masa depan Asia Tenggara.
Sebagai konsumen energi terbesar di kawasan ini, jalur pertumbuhan ekonomi dan populasinya menegaskan pentingnya solusi berkelanjutan.
Dengan memanfaatkan sumber daya energi terbarukan yang melimpah, Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun masa depan energi hijau yang tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengatasi perubahan iklim serta memastikan ketahanan dan keterjangkauan energi bagi seluruh masyarakatnya.
Baca juga: Uni Eropa usulkan kesepakatan industri bersih dorong transisi energi
Maltesen juga tidak mengelak bahwa Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Namun, ia memandang ini sebagai sebuah langkah awal dari transisi energi di masa depan.
“Transisi energi tidak bisa terjadi dalam semalam. Indonesia telah investasi besar-besaran dalam pembangunan PLTU, dan itu sangat mahal. Kita tidak bisa langsung mematikan itu karena pada akhirnya kita harus memiliki penggantinya, dalam hal ini sumber energi lain. Komitmen dari pemerintah sudah ada, tapi membutuhkan waktu yang tepat untuk mempensiunkannya,” jelas Maltesen.
Untuk itu, ia menilai keseimbangan antara ketahanan energi, keberlanjutan, dan keterjangkauan dapat terwujud melalui kolaborasi dan kemitraan strategis, baik melalui kerja sama lintas negara, regional, maupun industri.
“Semuanya harus ikut serta untuk mewujudkan transisi energi terbarukan. Kita tidak bisa melakukannya sendiri-sendiri. Kolaborasi adalah hal yang sangat penting. Jika lebih banyak yang kolaborasi, maka akan semakin cepat juga transisi energi terwujud,” ujar Maltesen.
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Rangga Pandu Asmara Jingga
Copyright © ANTARA 2025