Jakarta (ANTARA) - Memasuki bulan ketujuh dalam penanggalan Imlek, komunitas Tionghoa di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) kembali menjalankan salah satu tradisi budaya dan spiritual yang paling sakral, yakni sembahyang kubur.
Dalam kepercayaan Tionghoa, bulan ini dikenal sebagai Bulan Hantu atau cung yuan jie, ketika dunia manusia dan dunia arwah diyakini saling terhubung.
Ribuan warga keturunan Tionghoa di kota-kota di Kalbar seperti Pontianak, Singkawang, Sambas, Ketapang, dan Sintang memadati kompleks pemakaman sejak awal bulan ketujuh Imlek.
Mereka datang dengan penuh khidmat, membawa berbagai sesaji seperti buah-buahan, kue keranjang, telur rebus, tahu, daging-dagingan, arak putih yang terbuat dari beras, serta lilin dan dupa.
Ritual diawali dengan pembersihan makam sebagai simbol penghormatan, dilanjutkan dengan doa bersama dan pembakaran kertas sembahyang (kim cua), yang dipercaya akan menjadi bekal dan persembahan di alam baka.
"Sembahyang kubur bukan hanya soal tradisi, ini tentang nilai-nilai kehidupan. Kami diajarkan untuk tidak melupakan asal usul, dan menghormati mereka yang telah lebih dulu pergi," ujar Johan Lim, warga keturunan Tionghoa yang ditemui saat sembahyang bersama keluarganya di kawasan pemakaman Sungai Raya di Kabupaten Kubu Raya, Pontianak, Kalbar.

Puncak perayaan sembahyang kubur di Bulan Hantu tahun ini akan jatuh pada 6 September 2025, bertepatan dengan tanggal 15 bulan ketujuh Imlek, yang secara tradisional dikenal sebagai Festival Hantu Lapar (Hungry Ghost Festival).
Dalam kepercayaan Tionghoa, pada hari itu gerbang antara dunia arwah dan dunia manusia diyakini terbuka paling lebar. Oleh karena itu, selain sembahyang untuk leluhur, banyak keluarga juga memberikan persembahan bagi roh-roh tanpa keturunan atau roh gentayangan yang tidak memiliki siapa pun yang mendoakan mereka.
Makanan yang telah disajikan dalam sembahyang umumnya akan dibawa pulang dan disantap bersama keluarga. Bagi masyarakat keturunan Tionghoa, ini bukan sekadar simbol bahwa arwah telah menerima persembahan, tetapi juga bentuk kebersamaan dan rasa syukur atas berkat yang diyakini berasal dari perlindungan leluhur.
"Sesudah berdoa, makanan itu kami bagikan ke keluarga. Ini melambangkan bahwa berkat dari leluhur telah kami terima, dan kami lanjutkan dengan berbagi dalam kasih sayang," tutur Tan Mei Ling, warga Singkawang yang setiap tahun membawa serta anak-anaknya mengikuti sembahyang kubur.
Cheng Beng dan Cung Yuan Jie: Dua Pilar Ziarah Leluhur
Sembahyang kubur dalam budaya Tionghoa tidak hanya dilakukan pada bulan ketujuh. Tradisi lain yang tak kalah penting adalahcheng beng atauqingming, yang jatuh setiap bulan ketiga dalam kalender China.
Jika Cheng Beng lebih berfokus pada ziarah ke makam dan pemeliharaan lingkungan makam di musim semi, maka sembahyang saat Bulan Hantu memiliki dimensi spiritual yang lebih mendalam karena dilakukan di tengah keyakinan bahwa arwah dan roh gentayangan sedang "berkeliaran" di dunia.
"Keduanya penting.Cheng beng adalah saat kita membersihkan makam dan mengingat leluhur secara fisik. Sementara itu,cung yuan jie adalah saat batin kita benar-benar bersatu dalam doa dengan mereka," ungkap Tan Yuwono, tokoh masyarakat Tionghoa di Singkawang.
Dengan dua momen penting ini, masyarakat Tionghoa menunjukkan konsistensi dan kesungguhan dalam menjalankan nilaifilial piety, yang merupakan ajaran hormat dan bakti kepada orang tua dan leluhur yang menjadi pilar dalam budaya Tionghoa klasik.
Di Indonesia, nilaifilial piety dibawa oleh para imigran Tionghoa yang datang sejak abad ke-13 hingga ke-19, terutama dari Fujian dan Guangdong di China. Mereka menetap di berbagai wilayah Nusantara, membawa serta bahasa, adat istiadat, dan sistem nilai mereka.
Dalam komunitas Tionghoa Indonesia, nilaifilial pietytetap dijaga kuat, terutama dalam praktik sehari-hari seperti penghormatan kepada orang tua, merawat mereka di usia tua, serta menjalankan upacara sembahyang leluhur.
Meskipun mengalami asimilasi dengan budaya setempat dan pengaruh agama lain seperti Buddha, Kristen, dan Islam, nilaifilial piety tetap menjadi fondasi penting dalam struktur keluarga Tionghoa Indonesia.

Di tengah arus modernisasi dan gaya hidup yang semakin dinamis, tradisi seperti sembahyang kubur tetap dijaga dengan baik oleh masyarakat keturunan Tionghoa Kalimantan.
Bagi banyak keluarga, momen ini bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga kesempatan untuk mendidik generasi muda tentang pentingnya mengenang leluhur, menjaga jati diri, dan menjunjung nilai kekeluargaan.
Banyak anak-anak dan remaja yang diajak terlibat langsung, mulai dari membersihkan makam, menyusun sesaji, hingga mengikuti doa. Ini merupakan bentuk edukasi budaya alami, yang berlangsung secara turun-temurun dalam suasana penuh kebersamaan.
"Ini bukan sekadar sembahyang, ini adalah pelajaran hidup. Anak-anak belajar bahwa kita ada karena ada yang lebih dulu mendahului kita. Kalau tidak menghargai masa lalu, kita akan kehilangan arah," tambah Johan, sembari menunjukkan anaknya yang ikut menyalakan dupa.
Momen ini juga memperlihatkan keterbukaan masyarakat Kalbar terhadap pluralitas. Keberagaman budaya dan agama yang hidup berdampingan menjadikan tradisi seperti sembahyang kubur bukan hanya milik komunitas Tionghoa, tetapi juga menjadi bagian dari warna budaya setempat yang lebih luas.
Sembahyang kubur di Kalbar merupakan salah satu contoh nyata bagaimana sebuah tradisi tetap hidup dan relevan di tengah perubahan zaman. Melalui momen-momen seperticheng beng dancung yuan jie, masyarakat keturunan Tionghoa tidak hanya menjaga nilai-nilai spiritual dan budaya, tetapi juga menguatkan ikatan antargenerasi dalam keluarga.
Tradisi ini merupakan warisan tak ternilai, yang menunjukkan bahwa di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi, identitas budaya tetap bisa dirawat, dihormati, dan dijadikan fondasi dalam kehidupan bermasyarakat yang harmonis.
Pewarta: Xinhua
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.