Pariaman (ANTARA) - Tradisi yang dilaksanakan oleh umat Islam aliran Syattariyah di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat untuk menentukan 1 Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, dan Idul Adha yaitu 'Maniliak Bulan' ditetapkan sebagai satu dari tiga Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI) 2025 asal daerah tersebut.
"Dengan ditetapkannya tiga tradisi ini maka sudah ada 15 tradisi di Padang Pariaman yang ditetapkan sebagai WBTbI," kata Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Padang Pariaman Revi Asneli, di Parik Malintang, Selasa.
Pendaftaran yang dilakukan pemerintah setempat ke Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) RI beberapa waktu lalu hingga ditetapkan sebagai WBTbI merupakan salah satu upaya negara agar kegiatan yang dilaksanakan masyarakat di daerah itu selama ini diakui, dilindungi, dikembangkan, dan dilestarikan sebagai bagian dari identitas nasional dan kekayaan bangsa.
Revi mengatakan pengakuan tersebut merupakan upaya pemerintah setempat agar budaya yang ada di Padang Pariaman tidak punah akibat perkembangan zaman. Salah satu tradisi yang beberapa hari yang lalu diakui Kemenbud sebagai WBTbI yaitu 'Maniliak Bulan'.
Ia menyampaikan Maniliak Bulan biasanya dilakukan untuk menentukan awal puasa Ramadhan serta Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha yang dilaksanakan di pesisir Ulakan Tapakis.
Namun kemudian tidak jarang juga kegiatan itu dilakukan di banyak lokasi di Padang Pariaman khususnya di tempat-tempat yang mendukung melihat hilal dengan mata telanjang atau tidak menggunakan alat bantu seperti teropong. Lokasi-lokasi yang dapat melihat hilal dengan menggunakan mata telanjang tersebut yaitu di antaranya pantai dan perbukitan.
Di lokasi 'Maniliak Bulan', umat Islam aliran Syattariyah melaksanakan Salat Magrib berjamaah serta ketika sedang berpuasa maka mereka membawa bekal untuk berbuka puasa di lokasi tersebut.
Ia menyampaikan adapun dua tradisi di Padang Pariaman lainnya yang juga ditetapkan sebagai WBTbI 2025 yaitu 'Malacuik Marapulai' dan Indang Tigo Sandiang'.
Ia menjelaskan 'Malacuik Marapulai' adalah prosesi adat yang ditempuh calon pengantin laki-laki sebelum akad nikah. Tradisi tersebut mencerminkan nilai tanggung jawab dan kedewasaan.
Sedangkan Indang Tigo Sandiang merupakan kesenian yang menampilkan tiga kelompok indang yang tampil bergantian dalam satu pertunjukan. Kesenian ini menggambarkan semangat kebersamaan dan harmoni sosial.
Pemerintah setempat akan menggiatkan program-program pelestarian budaya yang telah berlangsung di tengah masyarakat di daerah itu.
"Seperti 'Indang Tigo Sandiang' yang merupakan kesenian ditampilkan saat-saat kegiatan pemerintah," tambahnya.
Baca juga: Dua kesenian Buleleng ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda
Pewarta: Rahmatul Laila
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.