Tantangan mencetak sejuta hektare sawah di Papua

4 weeks ago 17
Dengan kehadiran proyek ini, diharapkan pula ada percepatan pembangunan di wilayah timur Indonesia yang selama ini kerap tertinggal dibandingkan kawasan lain.

Jakarta (ANTARA) - Ketika belum lama ini pemerintah mengumumkan rencana pencetakan satu juta hektare sawah di Papua, publik dihadapkan pada sebuah proyek besar yang digadang-gadang sebagai solusi ketahanan pangan nasional.

Angka itu memang terdengar spektakuler, tapi sejarah mencatat bahwa ambisi serupa pernah diluncurkan di masa lalu dengan hasil yang tidak sesuai harapan.

Proyek cetak sawah sejuta hektare di lahan gambut Kalimantan Tengah pada era Orde Baru, misalnya, justru berakhir dengan kegagalan yang menyisakan persoalan lingkungan dan sosial yang kompleks.

Dari pengalaman ini, bangsa ini belajar bahwa mencetak sawah baru tidak sesederhana menuangkan adonan untuk membuat kue, melainkan sebuah kerja panjang yang berhadapan dengan kondisi alam, budaya, dan dinamika sosial masyarakat setempat.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa semangat di balik program ini memiliki landasan filosofis yang kuat. Pemerintah ingin meningkatkan produksi pangan, terutama beras, agar kebutuhan dalam negeri dapat dipenuhi tanpa harus bergantung pada impor.

Lebih jauh, proyek ini juga diharapkan bisa membangun kemandirian pangan dalam jangka panjang, mengurangi kerentanan terhadap gejolak iklim global, dan tentu saja meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Papua dipandang sebagai wilayah yang tepat untuk mewujudkan ambisi ini karena memiliki lahan yang luas, subur, dan kondisi geografis yang relatif mendukung pengembangan pertanian skala besar.

Dengan kehadiran proyek ini, diharapkan pula ada percepatan pembangunan di wilayah timur Indonesia yang selama ini kerap tertinggal dibandingkan kawasan lain.

Meski begitu, keberhasilan program tidak bisa hanya diukur dari jumlah hektare lahan yang berhasil dicetak.

Baca juga: Kementan pacu percepatan tanam padi di Papua Selatan dengan teknologi

Ada sejumlah tantangan serius yang harus dijawab sejak awal. Pertama adalah soal lingkungan. Papua bukan sekadar tanah kosong yang siap diolah, melainkan rumah bagi ekosistem yang sangat kaya dengan flora dan fauna endemik.

Analisis dampak lingkungan yang komprehensif menjadi mutlak agar proyek ini tidak justru mengorbankan kekayaan alam Papua yang tak ternilai.

Kedua adalah pengelolaan lahan berkelanjutan. Tanpa strategi pengelolaan yang bijaksana, risiko kerusakan lingkungan dan konflik sosial bisa muncul, seperti yang pernah kita saksikan di proyek-proyek serupa sebelumnya.

Ketiga adalah keterlibatan masyarakat lokal. Papua bukan hanya soal lahan, tetapi juga tentang masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal dan nilai budaya yang harus dihormati. Proyek sebesar ini akan gagal jika hanya dipandang dari perspektif teknokratis tanpa melibatkan mereka yang paling terdampak.

Keempat adalah infrastruktur pendukung. Padi yang tumbuh subur sekalipun akan sia-sia jika distribusinya terhambat oleh minimnya jalan, dermaga, dan jaringan transportasi.

Dan yang tidak kalah penting adalah menjaga keseimbangan antara kebutuhan pangan nasional dengan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan.

Baca juga: Urgensi pencetakan sawah berkualitas

Baca juga: Bupati Jayapura tanam perdana padi sawah di Namblong

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |