Kendari (ANTARA) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) mendapat dana hibah dari pemerintah pusat sebesar Rp2,2 miliar untuk membentuk sebanyak 20 kampung iklim di Bumi Anoa tersebut.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sultra Andi Makkawaru saat ditemui di Kendari, Selasa, mengatakan bahwa 20 lokasi yang disiapkan untuk menjadi kampung iklim tersebut merupakan bagian dari kebijakan nasional Indonesia Hijau dengan total anggaran Rp2,2 miliar selama tiga tahun hingga 2027 mendatang.
Ia menyampaikan alokasi anggaran sebesar Rp2,2 miliar itu nantinya akan difokuskan untuk menginventarisasi gas rumah kaca dan pelaksanaan Program Kampung Iklim atau Proklim.
“Di tahun 2025 kita fokus pada amanah pusat untuk Indonesia Hijau, termasuk mendata potensi emisi gas rumah kaca dan menjalankan Proklim di daerah rentan terdampak perubahan iklim, terutama wilayah pesisir,” kata Andi Makkawaru.
Baca juga: Program Kampung Iklim dinilai langkah nyata hadapi pemanasan global
Andi Makkawaru mengungkapkan berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan, pihaknya akan fokus pada wilayah pesisir yang menjadi Kampung Iklim karena masyarakatnya mayoritas nelayan yang rentan terdampak cuaca ekstrem. Sebab, ketika para nelayan itu tidak bisa melaut karena gelombang tinggi atau badai, ketahanan ekonomi mereka juga pastinya akan ikut terganggu.
“Makanya Proklim ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga adaptasi agar masyarakat siap menghadapi dampak perubahan iklim dan tetap punya sumber penghidupan yang berkelanjutan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan atau PPKL DLH Sultra Awaluddin menyampaikan saat ini pihaknya tengah melakukan verifikasi terhadap desa/kelurahan di Bumi Anoa ini yang telah dilakukan secara mandiri untuk Proklim.
“Di 2025, kita fokus mencatat 20 lokasi yang diusulkan ke kementerian. Kami identifikasi dulu aksi-aksi adaptasi dan mitigasi yang sudah ada, seperti pengelolaan sampah, daur ulang, atau budidaya mangrove,” kata Awaluddin menjelaskan.
Ia mengungkapkan pencatatan ini dilakukan melalui kunjungan lapangan dan dilaporkan ke pemerintah pusat melalui aplikasi Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI).
Baca juga: Proklim diharapkan jadi motivasi warga untuk lebih peduli lingkungan
Hasil laporan itu kemudian akan diverifikasi oleh tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Pusat Data dan Informasi (Pusdal) pada 2026.
“Setelah data lengkap, baru tahun 2026 dilakukan verifikasi oleh tim pusat. Jika lolos, masuk tahap pengembangan Proklim di semester kedua 2026 hingga 2027,” jelasnya.
Awaluddin menuturkan setelah proses verifikasi itu, pihaknya kemudian akan masuk ke tahap intervensi melalui berbagai kegiatan lingkungan, salah satunya agroforestry di 20 desa. Selain itu, akan dikembangkan pula model Silvofishery, yaitu integrasi antara ekowisata mangrove dengan budidaya perikanan seperti kepiting bakau atau udang.
“Di beberapa desa yang punya potensi, akan dikembangkan satu lanskap yang menggabungkan wisata, konservasi, dan ekonomi berbasis alam,” ucapnya.
Dia menambahkan jika program ini juga melibatkan dua instansi lain di Pemprov Sultra, yaitu Dinas Kehutanan dan Bappeda. Ketiga dinas tersebut akan menjalankan kegiatan yang saling terhubung dalam satu lokasi, agar seluruh pendekatan mitigasi dan adaptasi berjalan terpadu.
“Jadi tidak bisa DLH di satu tempat, lalu kehutanan atau Bappeda di tempat lain. Harus satu lanskap yang sama karena tujuannya membangun ketahanan iklim berbasis wilayah,” katanya.
Baca juga: 402 desa di Aceh sumbang penurunan 114.000 ton karbon lewat Proklim
Pewarta: La Ode Muh. Deden Saputra
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.