Mataram (ANTARA) - Musim hujan selalu datang membawa cerita yang sama di banyak wilayah kepulauan Indonesia. Sebuah rangkaian kondisi yang terus berulang dengan ruas jalan yang kembali tergerus, jembatan yang melemah dihantam aliran sungai yang tak menentu, serta akses antarpermukiman yang mendadak lumpuh, saat curah hujan meningkat.
Setiap tahun, siklus ini menjadi ujian berulang bagi ketahanan infrastruktur, sekaligus menguji ketangguhan ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidup pada kelancaran mobilitas harian mereka.
Gambaran umum itu menemukan relevansinya di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada musim hujan yang mulai mengintip setiap sudut desa, cerita lama kembali terulang—jalan berlubang yang menganga, jembatan rusak yang menghambat aktivitas warga, dan akses yang tersendat ketika banjir datang tiba-tiba.
Di banyak tempat, situasi tersebut bukan sekadar mengganggu kenyamanan, tetapi memutus denyut ekonomi masyarakat pesisir, petani, dan nelayan.
Karena itu, ketika pemerintah provinsi mempercepat pengerjaan sejumlah ruas jalan dan jembatan sepanjang 2025, publik kembali mencermati bagaimana infrastruktur dasar menjadi penentu kualitas hidup.
Pekerjaan jalan dan jembatan bukan hanya urusan beton, drainase, atau progres konstruksi, melainkan fondasi akses kesehatan yang lebih cepat, biaya logistik yang lebih murah, dan perluasan ruang tumbuh ekonomi di daerah kepulauan.
Percepatan ini menjadi penting karena penanganan yang terlambat dapat memicu risiko sosial, seperti keterisolasian, kecelakaan, hingga kerugian ekonomi setiap tahun.
Dalam konteks tersebut, percepatan perbaikan jalan dan jembatan di NTB perlu dipahami bukan sebagai proyek biasa, tetapi sebagai strategi pemerataan pembangunan yang bergantung pada konektivitas antarkawasan.
Konektivitas
Percepatan pembangunan infrastruktur di NTB tampak nyata dari serangkaian proyek yang hampir seluruhnya ditargetkan tuntas pada 2025.
Salah satu yang penting adalah rekonstruksi ruas Jalan Simpang Tano-Simpang Seteluk di Sumbawa Barat, jalan provinsi yang menghubungkan dua ruas jalan nasional.
Dengan panjang 3,8 kilometer dan anggaran lebih dari Rp32 miliar, pekerjaan ini bukan sekadar memperbaiki lapisan aspal, tetapi mengatasi persoalan drainase yang selama ini memicu banjir di Tambaksari.
Masalah drainase memang kerap menjadi akar perusak jalan di NTB. Di lokasi lain, seperti ruas Batu Nyale-Sengkol di Lombok Tengah, kerusakan jalan bertahun-tahun diakibatkan tanah dasar yang labil dan galian pipa air minum yang terlalu dangkal, sehingga fondasi jalan cepat rusak.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

















































