Jakarta (ANTARA) - Indonesia terus mempercepat langkah eliminasi Penyakit Tropis Terabaikan (Neglected Tropical Diseases/NTDs) pada 2030, khususnya kusta dan filariasis, melalui strategi antara lain deteksi dini, pengobatan massal, dan kolaborasi lintas sektor.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat, Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Ina Agustina Isturini mengatakan, Indonesia telah menunjukkan kemajuan dalam pengendalian kusta dan filariasis. Namun, katanya, berbagai tantangan masih harus diatasi, di antaranya stigma sosial, keterlambatan diagnosis, serta rendahnya kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam menjalani pengobatan.
"Indonesia masih menempati peringkat tiga dunia dalam jumlah kasus baru kusta, dengan total 12.798 kasus baru," kata Ina.
Dia menjelaskan, beberapa provinsi yang mencatat jumlah kasus kusta tertinggi, yakni Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, dan Papua.
Meskipun prevalensi kusta telah menurun sejak 1981, katanya, eliminasi total masih menjadi target utama dengan visi “Zero New Cases, Zero Disabilities, dan Zero Stigma”.
Dalam keterangan yang sama, dokter dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi menyebutkan, stigma terhadap penderita kusta menjadi hambatan utama dalam upaya eliminasi.
Dia menyebutkan, untuk mencapai target eliminasi kusta pada 2030, ada lima strategi utama yang dilakukan. Pertama, deteksi dini dan pengobatan cepat dengan terapi Multi-Drug Therapy (MDT) selama 6 hingga 12 bulan. Kedua, pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) di daerah dengan kasus tinggi. Ketiga, surveilans aktif untuk menemukan kasus secara cepat.
"Keempat, edukasi dan promosi kesehatan untuk mengurangi stigma dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Kelima, kolaborasi lintas sektor untuk mempercepat eliminasi kusta," katanya.
Sementara itu, Dosen FKUI Departemen Parasitologi Prof Dr Taniawati Supali mengatakan, filariasis adalah atau kaki gajah merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit tersebut, kata Taniawati, penyebab kecacatan terbesar kedua di dunia setelah gangguan jiwa, dengan dampak ekonomi yang signifikan bagi penderitanya.
“Filariasis memperburuk kemiskinan karena penderitanya kehilangan kemampuan bekerja dan akhirnya dikucilkan oleh masyarakat,” kata Taniawati.
Indonesia menghadapi tantangan unik dalam eliminasi penyakit ini karena menjadi satu-satunya negara di dunia yang memiliki tiga spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori, yakni spesies yang hanya ditemukan di Indonesia dan Timor Leste.
Salah satu tantangan utama dalam eliminasi filariasis adalah banyaknya individu yang sudah terinfeksi tetapi belum menunjukkan gejala. Dia menyebutkan, infeksi membutuhkan waktu 5 hingga 8 tahun untuk berkembang menjadi kondisi yang terlihat, sehingga banyak orang sehat yang sebenarnya sudah memiliki cacing dalam darahnya, tetapi tidak merasakan sakit.
Guna mencapai target eliminasi filariasis 2030, katanya, ada lima strategi utama yang diterapkan. Pertama, Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) setiap tahun selama lima tahun di daerah endemis.
Kedua, penerapan strategi pengobatan tiga obat (IDA therapy) yang dapat mempercepat eliminasi hanya dalam dua tahun. Ketiga, surveilans ketat untuk memastikan tidak ada transmisi baru.
Keempat, peningkatan edukasi masyarakat tentang bahaya dan pencegahan filariasis. Kelima, kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan peternakan dan lingkungan, karena filariasis juga ditemukan pada hewan seperti kera, kucing, dan anjing.
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2025