Politisi Thailand dorong generasi muda melek politik, jaga demokrasi

5 hours ago 5

Jakarta (ANTARA) - Politisi dan mantan pemimpin Move Forward Party (MFP) Thailand Pita Limjaroenrat mengingatkan agar generasi muda dan para demokrat sejati untuk senantiasa mengikuti dinamika politik agar demokrasi tidak beralih menjadi autokrasi kompetitif.

“Generasi muda dan para demokrat sejati harus cerdas, teliti, dan terus mengikuti dinamika politik karena saat ini, cara merampas demokrasi tidak lagi gamblang dan keras,” kata Limjaroenrat dalam diskusi publik di Jakarta, Rabu.

Limjaroenrat yang gagal menjadi Perdana Menteri Thailand meski partainya berhasil meraih suara dan kursi terbanyak dalam pemilu Thailand pada Mei 2023 itu, menuturkan bahwa terdapat garis tipis antara autokrasi kompetitif dan demokrasi.

Menurutnya, proses di negara demokratis tidak akan berjalan lurus, tapi zig-zag bahkan mundur. Jika pemilu tetap dilaksanakan, namun terdapat mekanisme di balik layar yang memastikan hasilnya tidak akan berubah, maka dapat dipertanyakan apakah itu demokrasi atau autokrasi kompetitif.

“Ini sangat tergantung pada kita. Bukan sekadar pergi mencoblos. Partisipasi pemilu penting, tapi begitu juga kebebasan berbicara, kebebasan pers, kemampuan rakyat mengendalikan agenda, dan keberadaan lembaga-lembaga independen yang benar-benar independen, bukan senjata politik bagi keluarga tertentu,” ucapnya.

Dirinya menuturkan bahwa para autokrat kini jauh lebih cerdas, rapi, dan diam-diam dalam mempertahankan kekuasaan. Perampasan demokrasi tidak lagi dengan cara fisik, namun yang terjadi sekarang adalah kudeta yudisial, kekerasan di ruang sidang, dan pembunuhan politik secara hukum, kata dia.

Limjaroenrat, yang bersama para eksekutif partai MFP yang dilarang berpolitik selama 10 tahun sejak 2024 akibat dinamika politik di negaranya, menekankan peran penting masyarakat sipil dalam menjaga ketahanan demokrasi.

Masyarakat sipil, kata dia, harus bekerja saat institusi formal berhenti berfungsi dan memiliki kemampuan untuk menyerap guncangan saat krisis terjadi, membuat keputusan yang tepat dan mendapatkan informasi dalam berbagai isu, serta menjamin keberlanjutan.

“Tanpa organisasi masyarakat sipil, saat terjadi guncangan, maka tidak akan ada ketahanan demokrasi, padahal ketahanan demokrasi berarti sistem yang bisa memperbarui dirinya sendiri, mampu menghadapi guncangan, dan kemudian memperbaiki diri. Itulah arti dari resilience secara sederhana,” ucap dia.

Baca juga: SBY optimistis Presiden Prabowo mampu jaga demokrasi Indonesia

Baca juga: Jokowi persilahkan polisi periksa ijazahnya melalui digital forensik

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |