Jakarta (ANTARA) - Pengamat terorisme Islah Bahrawi menilai bahwa tragedi ledakan SMAN 72 Jakarta yang menimbulkan puluhan korban, menjadi cermin atas runtuhnya bimbingan moral dan spiritualitas di era digital.
Menurut dia, ancaman radikalisme kini tak lagi berbentuk organisasi besar, melainkan bisa lahir dari individu muda yang tersesat dalam ruang digital. Kasus itu, kata dia, menyingkap sisi gelap generasi muda yang kehilangan arah spiritual dan saluran normatif dalam mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap kehidupan sosial.
“Generasi muda sekarang sangat eksplosif karena tidak punya ruang untuk menyalurkan kegelisahannya melalui jalur yang sehat, sosial, ekonomi, atau politik,” kata Islah di Jakarta, Selasa.
Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) itu menilai media sosial kini menjadi “ruang dakwah baru” bagi ideologi kebencian. Tanpa bimbingan moral dan keagamaan yang kuat, generasi Z dan Alpha mudah terjebak dalam algoritma kebencian yang memperkuat emosi negatif dan menormalisasi kekerasan.
“Ketika ruang-ruang itu tertutup, maka pelampiasannya bisa berupa tindakan ekstrem, tawuran, atau bahkan kekerasan yang lebih besar," kata dia.
Dia menilai proses radikalisasi hari ini tidak lagi memerlukan ideologisasi panjang. Cukup dengan algoritma yang memberi ruang bagi kebencian, maka terjadilah echo chamber yang menjerumuskan anak muda pada ekstremisme.
Menurut dia, kondisi psikososial dan spiritual anak muda hari ini sangat rentan karena lemahnya kontrol dari lingkungan terdekat, baik keluarga, tetangga, dan masyarakat. Di sisi lain, pencegahan ekstremisme tidak bisa hanya dibebankan kepada negara.
"Pengawasan harus dimulai dari keluarga, dari RT, RW, hingga komunitas keagamaan. Semua elemen sosial harus diaktifkan kembali secara sistematis,” kata dia.
Dia mencontohkan bahwa di negara maju seperti Amerika Serikat pun, aksi lone actor sulit dideteksi meski dengan sistem keamanan canggih. Karena itu, menurut dia, Indonesia perlu memperkuat benteng moral dan sosial sejak dini.
Sebagai solusi, dia mendorong hadirnya narasi keagamaan yang lebih humanis dan relevan bagi generasi muda. Ia menilai, pendekatan berbasis cinta kasih, empati, dan kemanusiaan akan jauh lebih efektif dibandingkan ceramah yang bersifat dogmatis.
“Kontra-narasi radikalisme harus dimulai dari membangun kecintaan terhadap sesama manusia. Itu inti dari semua ajaran agama, bukan sekadar hafalan dalil, tapi penanaman nilai-nilai kasih dan perdamaian,” kata dia.
Baca juga: SMAN 72 mulai kondusif, Kemendikdasmen lanjutkan layanan psikososial
Baca juga: Ledakan SMAN 72, terduga pelaku dikenal sebagai pribadi tertutup
Baca juga: Petugas masih jaga ketat SMAN 72 Jakarta pascaledakan
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































