Jakarta (ANTARA) - Bongkar pasang metode pendidikan menjadi perjalanan panjang dalam menemukan model pembelajaran ideal bagi anak-anak bangsa.
Belakangan, berkembang metode pembelajaran menyenangkan yang mengarusutamakan kesadaran dan pemahaman agar generasi yang dihasilkan tidak sekadar pintar di atas kertas tapi juga memiliki adab yang mengesankan.
Peristiwa perdebatan panas antara remaja bernama Egalita Aurelia Devi Artamevia alias Aura Cinta dengan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi baru-baru ini sungguh telah membuat masyarakat se-Indonesia terhenyak.
Bagaimana bisa, anak remaja yang baru lulus SMA dengan kepercayaan diri yang tinggi berani bicara lantang di hadapan kepala daerah karena ketidaksetujuannya terhadap larangan wisuda dan study tour. Padahal larangan itu demi meringankan beban para orang tua agar penggunaan anggaran dalam rumah tangga lebih fokus pada kebutuhan yang lebih substansial.
Sikap berani Aura Cinta tak pelak menjadi pergunjingan publik karena memprihatinkan ketiadaan tata krama pada generasi Z itu. Kasus dia hanyalah gunung es yang muncul ke permukaan, di tengah masyarakat amat banyak remaja yang menjadi sumber keluhan para guru dan orang tua karena perangai dan tabiat buruknya.
Isu seputar defisit akhlak, kemunduran adab, minus budi pekerti dan rendah tata krama yang diidap generasi kiwari sejatinya telah menjadi kegelisahan banyak pihak, setidaknya dalam satu dekade terakhir. Hingga semua memutar otak untuk mencari formula pendidikan karakter yang dapat menyembuhkan para anak didik dari kenihilan sikap tawadhu’.
Bila lembaga pendidikan formal lebih disibukkan dengan penerapan kurikulum yang dinamis dari periode ke periode, beruntung banyak lembaga non-formal atau komunitas yang memiliki kepedulian tinggi terhadap upaya penyelamatan generasi muda dari bencana dekadensi moral.
Metode pembelajaran berbasis perhatian dan kasih sayang banyak diadopsi berbagai komunitas semacam rumah belajar sebagai suplemen pendidikan akhlak, yang mungkin di sekolah formal tak mendapat porsi sebanyak mata pelajaran lain.
Pendidikan luar sekolah yang dikembangkan dengan pendekatan kasih sayang akan lebih efektif untuk merangkul anak-anak dengan cenderung bengal yang bisa jadi karena kegersangan hati akibat minimnya kucuran cinta dari keluarga.
Baca juga: Mematangkan kemampuan kolaboratif, bukan sekadar kemampuan akademik
Ketika ditelisik lebih jauh, setiap anak lahir dalam keadaan fitrah dan bersih seperti kertas putih. Selanjutnya orang tua dan lingkungannya yang memberi warna dan coretan. Kalau saat ini perangai gen Z banyak mengundang decak henyak kita semua, kira-kira siapa yang pantas disalahkan dan bertanggung jawab? Tentu terpulang pada yang memberi warna dan coretan selama ini.
Membahas siapa salah tak akan mendatangkan solusi. Tapi kegelisahan bersama yang melahirkan gerakan-gerakan aksi nyata untuk memperbaiki ini semua, sudah pasti bakal memberi dampak biarpun itu berjalan perlahan.
Gerakan di bidang pendidikan yang dipelopori para pejuang dan hadir di tengah masyarakat melalui wadah-wadah komunitas terus merebak.
Dari Yogyakarta lahir Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), ada juga pusat pendidikan di Salatiga bernama Padepokan Margosari, lantas di Depok terdapat sekolah budi pekerti berlabel Amuba (Anak Muda Bangkit), dan pastinya masih banyak lagi yang lainnya di luar sana.
GSM adalah gerakan akar rumput demi mendorong transformasi pendidikan yang memanusiakan untuk seluruh anak Indonesia melalui pendekatan berbasis komunitas.
Gerakan ini mempromosikan dan membangun kesadaran para guru, kepala sekolah, orang tua, dan pemangku kebijakan pendidikan untuk membangun ekosistem dan budaya sekolah yang menyenangkan, kolaboratif, inklusif, dan setara agar para murid menemukan potensi dirinya dalam menghadapi perubahan dunia yang sangat cepat dan tak menentu. Didirikan oleh Muhammad Nur Rizal, seorang dosen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sedangkan Padepokan Margosari merupakan sebuah taman peradaban, tempat beraneka warna bunga tumbuh di dalamnya. Bunga-bunga itu berupa anak-anak yang berada di dalamnya, gagasan-gagasan peradaban, event-event yang terselenggara berkat dorongan hadirnya sebuah peradaban yang lebih baik, maupun komunitas-komunitas yang muncul di dalamnya. Padepokan ini didirikan Septi Peni Wulandani, seorang pelopor parenting keluarga yang menjadikan rumah sebagai madrasah bagi putra-putrinya.
Septi telah berhasil mendidik ketiga buah hatinya tanpa sekolah formal, melainkan ia sendiri bertindak sebagai guru sehari-hari. Ibu guru Septi menerapkan kurikulum di mana pondasinya adalah iman, akhlak, adab, dan bicara.
Putra pertamanya, Enes, yang begitu peduli terhadap lingkungan, memiliki banyak proyek peduli lingkungan dan memperoleh penghargaan dari Ashoka, serta sering menjadi buah pemberitaan media. Enes menyelesaikan studi S-1 di Singapura, masuk kuliah setelah SMP tanpa ijazah menggunakan jalur presentasi. Ia kuliah dengan biaya sendiri bermodal menjadi seorang financial analyst.
Sementara, sebuah rumah belajar yang menamakan diri sebagai sekolah budi pekerti hadir di Depok, dipelopori oleh seorang dokter gigi yang resah akan kemunduran adab dan etika anak-anak zaman sekarang.
Dialah Ratna Indrati, didukung oleh Ketua RT di Kavling Arsitek Jalan Raya HM Yusuf, ia membangun rumah belajar Amuba di garasi kediamannya. Dirintis sejak 4 tahun lalu, kini setiap akhir pekan sekitar 80 anak berkumpul untuk mendapat wejangan darinya juga beberapa guru yang didatangkan dari Montessori.
Baca juga: Refleksi HARDIKNAS 2025: Menjaga integritas pendidikan
Kurikulum utamanya adalah adab dan budi pekerti, namun untuk memikat banyak peminat dikamuflase dengan beragam pembelajaran lain yang menarik dan menyenangkan, di antaranya materi bahasa Inggris dan sejumlah permainan. Sekolah gratis ini diikuti anak-anak dari jenjang usia TK hingga SMA.

Baca juga: Partisipasi semesta wujudkan pendidikan bermutu untuk semua
Pendidikan menyenangkan
Menyenangkan menjadi kata kunci bagaimana penyelenggaraan pendidikan dapat dinikmati oleh peserta didik. Jika mereka belajar dengan penuh tekanan, tuntutan, target dan suasana kompetisi yang menegangkan, pasti pelajar mengikuti sekolah dengan keterpaksaan.
Maka belajar dengan suasana bahagia menjadi atmosfir ideal bagi tumbuh kembang peradaban yang baik. Selain terkait metode belajar yang inovatif dan atraktif, pengajaran dengan pendekatan kasih sayang akan menunjang kenyamanan anak dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Kebebasan memilih, belajar dan menekuni apa yang disukai adalah hal mendasar yang perlu diterapkan agar anak mengerjakan tugas-tugasnya dengan senang hati.
Pada bagian lain, pelajaran terkait agama, akhlak, dan pendidikan moral diberikan dengan membangun kesadaran bukan sekadar pengetahuan dan hafalan. Seperti pendidikan agama yang semestinya diberikan dengan pendekatan ketauhidan yang menyentuh pada esensi beragama, sehingga anak-anak melakukan hal baik atas kesadaran bukan karena diperintah serta ancaman dosa dan neraka.
Segala sesuatu yang dilakukan atas dasar kesadaran akan bersifat melekat dan otomatis, tidak perlu guru atau orang tua selalu mengawasi untuk pelaksanaannya.
Akhlak merupakan bagian dari pendidikan agama, yang di dalamnya sudah mencakup etika, tata krama, dan moral. Dengan mengenalkan ajaran agama secara esensial, harusnya persoalan dekadensi moral anak bangsa ini lekas selesai.
Tapi sekali lagi metode pendekatannya harus mengena di hati anak-anak. Anak-anak itu hanya perlu direbut hatinya, tidak membutuhkan ancaman apalagi kekerasan. Buatlah mereka menyenangi hal baik, seraya para generasi di atasnya memberi teladan baginya. Karena anak adalah cerminan dari diri kita, maka menjadilah cermin yang bersih.
Ciptakan rumah, lingkungan dan sekolah, sebagai tempat belajar yang menyenangkan. Ketika mereka tumbuh dalam proses pembelajaran yang nyaman, semoga akan hadir generasi yang pintar (sekaligus) dengan pribadi yang mengesankan.
Baca juga: Peringati Hardiknas, Presiden-Mendikdasmen sinergi renovasi sekolah
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025