Pemberian gelar pahlawan nasional 2025 dan momen rekonsiliasi simbolik

2 hours ago 2
Presiden Prabowo ingin menunjukkan bahwa Pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak hanya menghargai mereka yang berkuasa, tetapi juga mereka yang menentang ketidakadilan, memperjuangkan kemanusiaan, dan menjaga kedaulatan bangsa.

Kuala Lumpur (ANTARA) - Pada 10 November 2025, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh bangsa.

Dari daftar tersebut, terdapat lima nama yang seolah membawa kita kembali ke babak panjang sejarah Indonesia modern yaitu Soeharto, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sarwo Edhie Wibowo, Marsinah, dan Mochtar Kusumaatmaja.

Dianugerahkannya gelar Pahlawan Nasional kepada mereka tentu saja menarik. Karena, meskipun kelimanya hidup dan berjuang di masa yang sama, suatu masa yang oleh sejarah dikenal sebagai Orde Baru, posisi mereka terhadap kekuasaan sangatlah beragam.

Satu memegang kekuasaan tertinggi, satu melawannya dengan keberanian moral, satu memastikan keamanan nasional, satu memperjuangkan hak rakyat kecil di tengah represi, dan satu mengokohkan kedaulatan Indonesia di forum internasional.

Tokoh pertama, Soeharto. Nama Soeharto adalah pusat orbit politik Indonesia selama lebih dari 32 tahun.

Ia memimpin dengan visi stabilitas dan pembangunan ekonomi yang membawa Indonesia keluar dari krisis pasca-1965. Dalam pemerintahannya, kedaulatan ditegakkan, jalan-jalan dibuka, sawah diperluas, dan swasembada pangan dicapai.

Namun, stabilitas itu juga menuntut harga yang mahal yaitu kebebasan politik yang ditekan, suara-suara kritis yang dibungkam, dan keadilan sosial yang tak selalu merata. Pemberian gelar pahlawan nasional kepadanya tentu menimbulkan pro dan kontra. Meskipun demikian, Soeharto tetap menjadi figur yang tak bisa dihapus dari narasi besar Indonesia modern.

Tokoh kedua, Gus Dur. Ia adalah sosok yang berdiri di antara kekuasaan dan perlawanan, sosok yang selalu menyuarakan pluralisme, kebebasan beragama, dan demokrasi jauh sebelum reformasi bergulir.

Sebagai tokoh Nahdlatul Ulama, Gus Dur tidak menentang Orde Baru secara frontal, tetapi ia menolak untuk tunduk. Melalui tulisan dan pemikiran, ia mengajak bangsa ini berpikir lebih manusiawi.

Baca juga: Menteri HAM "no comment" atas gelar pahlawan Soeharto

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |