Jakarta (ANTARA) - Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan DPR RI bisa langsung dilaksanakan.
Titi, dalam diskusi daring diikuti di Jakarta, Minggu, menjelaskan, Putusan MK Nomor 169/PUU-XXII/2024 itu bersifat self-executing sehingga tidak perlu menunggu revisi undang-undang terlebih dahulu, dalam hal ini UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
“Pelaksanaan putusan MK tidak perlu menunggu revisi Undang-Undang MD3 karena karakter dari Putusan MK Nomor 169 ini adalah bersifat self-executing … serta merta bisa dieksekusi tanpa revisi undang-undang,” ucap Titi.
Dia menekankan, putusan MK bersifat final dan mengikat. Sifat self-executing pada Putusan Nomor 169/PUU-XXII/2024 juga serupa dengan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan kepala daerah jalur partai politik.
“Sama seperti putusan MK tentang penurunan ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah … itu kan langsung dieksekusi oleh Komisi Pemilihan Umum tanpa ada revisi Undang-Undang Pilkada,” ucap Titi.
Menurut dia, putusan soal keterwakilan perempuan dalam AKD ini merupakan momentum bagi DPR untuk mengembalikan kepercayaan publik, yakni dengan menunjukkan komitmen dan itikad baik melaksanakan mandat Mahkamah.
Dengan pembenahan pengisian keanggotaan dan pimpinan AKD yang selaras dengan inklusivitas keterwakilan perempuan, sebagaimana amanat MK, Titi meyakini hal itu bisa menjadi salah satu instrumen memulihkan kepercayaan publik kepada DPR.
Ia pun mengingatkan peristiwa unjuk rasa pada bulan Agustus 2024, ketika masyarakat memprotes langkah DPR yang disebut mencoba mengabaikan putusan MK mengenai ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah.
“Situasi hari ini, sikap-sikap pengabaian, pembangkangan, pengingkaran itu jangan sampai menjadi pilihan dari DPR. Itu juga menjadi catatan, DPR bisa membuktikan siap menjadi lembaga yang inklusif, betul-betul berkomitmen terhadap keterwakilan perempuan, apalagi pimpinannya juga perempuan sekarang,” kata Titi.
Kendati demikian, Titi mengatakan revisi UU MD3 tetap diperlukan. Dia menyebut implementasi Putusan Nomor 169/PUU-XXII/2024 dapat berjalan paralel dengan revisi UU MD3 untuk menyelaraskan sejumlah peraturan.
Putusan MK yang diucapkan pada Kamis (30/10) itu baru seputar alat kelengkapan DPR. Menurut dia, pertimbangan Mahkamah dalam putusan dimaksud seharusnya serta merta berlaku untuk alat kelengkapan pada lembaga perwakilan lainnya.
“Revisi [UU MD3] justru diperlukan dalam rangka memberlakukan pengaturan yang setara, yang serupa, untuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, [serta] Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi,” ucap Titi.
Sebelumnya, MK mengabulkan seluruh permohonan Perkumpulan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta Titi Anggraini dalam perkara uji materi UU MD3.
Mahkamah menegaskan komposisi anggota maupun pimpinan AKD DPR RI harus mengakomodasi keterwakilan perempuan. AKD itu meliputi Badan Musyawarah, komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Kerja Sama Antarparlemen, Mahkamah Kehormatan Dewan, Badan Urusan Rumah Tangga, dan panitia khusus.
MK memandatkan pengisian keanggotaan AKD DPR RI harus memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi. Sementara itu, pengisian kursi pimpinan AKD harus memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Baca juga: Respons putusan MK, Saleh Daulay: PAN beri ruang perempuan di AKD DPR
Baca juga: MK putuskan AKD DPR RI harus akomodasi keterwakilan perempuan
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































