Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak dapat menerima uji materi sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang diajukan advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak karena permohonannya kabur (obscuur).
Zico dalam permohonan tersebut salah satunya meminta Mahkamah untuk menyederhanakan pecahan mata uang Rp1.000 menjadi Rp1 atau dikenal juga dengan istilah redenominasi.
“Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor Putusan Nomor 23/PUU-XXIII/2025 di Jakarta, Rabu.
Dijelaskan Wakil Ketua MK Saldi Isra bahwa sistematika permohonan Zico tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK dan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
Baca juga: Advokat uji UU Mata Uang ke MK, minta Rp1000 disederhanakan jadi Rp1
Menurut Mahkamah, petitum yang dimohonkan Zico tidak lazim dan kontradiktif sehingga menyebabkan permohonan tidak jelas atau kabur.
Salah satu petitum Zico yang meminta nilai nominal disesuaikan, yakni Rp1.000 menjadi Rp1 dan Rp100 menjadi 10 sen dinilai dapat menimbulkan ketidakjelasan. Sebab, jenis nominal mata uang tidak hanya diawali dengan angka 1 saja.
Dengan rumusan petitum demikian, menjadikan nominal atau pecahan mata uang yang lain seperti pecahan Rp2.000, Rp5.000, Rp20.000, dan Rp50.000 tidak termasuk dalam cakupan yang dimaksudkan dalam petitum pemohon.
“Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo (tersebut), karena permohonan a quo tidak jelas atau kabur maka terhadap kedudukan hukum pemohon, pokok permohonan, dan hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya,” kata Saldi.
Sebelumnya, kuasa hukum Zico, Putu Surya Permana Putra dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Jakarta, Selasa (22/4), mengatakan bahwa banyaknya angka nol dalam mata uang rupiah merupakan hal yang tidak efisien.
“Banyaknya angka nol yang terdapat dalam mata uang rupiah oleh Pemohon dinilai sebagai hal yang tidak efisien, mengingat banyak negara-negara di luar negeri yang memangkas angka nol dalam mata uang dan sekaligus menandakan betapa stabilnya perekonomian dalam negara tersebut,” ujarnya.
Selain itu, banyaknya angka nol ini juga dinilai menimbulkan masalah kesehatan pada mata. Menurut Pemohon, menghitung denominasi yang dinilai terlalu besar dalam rupiah berdampak pada meningkatnya rabun jauh.
“Yang disebabkan karena kelelahan visual dan ketegangan otot mata sebagai akibat dari angka-angka nol yang banyak tersebut pada penglihatan Pemohon,” sambung Putu.
Zico mengaku hal itu dia ketahui ketika berkunjung ke Singapura dengan mata uangnya yang tidak memiliki banyak angka nol. Menurut dia, mata uang negara tetangga itu lebih mudah untuk dihitung sehingga memudahkan transaksi.
Sementara ketika melakukan berbagai transaksi dengan rupiah, Zico mengaku harus memperhatikan dengan saksama dan teliti jumlah angka-angka nol yang terdapat dalam lembaran uang agar tidak menimbulkan kesalahan hitung.
Pada perkara ini, Zico mempersoalkan Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Mata Uang. Ia meminta pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai “bahwa nilai nominal harus disesuaikan melalui konversi nominal Rupiah dengan rasio Rp1000 menjadi Rp1 dan Rp100 menjadi 10 sen.”
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Rangga Pandu Asmara Jingga
Copyright © ANTARA 2025