Jakarta (ANTARA) - Vanili bukan sekadar rempah. Komoditas bernilai tinggi ini menjadi bahan baku penting dalam industri makanan, minuman, kosmetik, hingga farmasi.
Indonesia merupakan produsen vanili terbesar kedua di dunia, dengan Vanilla planifolia tumbuh subur di Bali, Jawa, Sumatra, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara Timur. Permintaan global terhadap vanili alami meningkat pesat seiring tren konsumen yang semakin menghargai produk organik dan cita rasa otentik.
Nilai pasar vanili dunia diperkirakan mencapai 1,2 miliar dolar AS pada 2025, sementara pasar vanili Indonesia diperkirakan tumbuh 5,99 persen dari 2024 - 2032 hingga menembus 33,29 juta dolar AS pada 2032. Namun, potensi besar ini hanya bisa tercapai bila kualitas produksi dan kesejahteraan petani ditingkatkan, agar vanili lokal benar-benar mampu “mengharumkan dunia.”
Meski dikenal sejak era kolonial dengan sebutan Java vanilla, kontribusi Indonesia di pasar ekspor masih jauh dari optimal. Ekspor vanili Indonesia pada 2022 mencapai 28,7 juta dolar AS, menempatkannya di peringkat keenam dunia di bawah Madagaskar, Uganda, Prancis, Jerman, dan Belanda.
Data Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat volume ekspor vanili kering pada 2023 sebesar 173 ton dengan nilai 15,2 juta dolar AS, turun tajam dari 90 juta dolar AS pada 2017, dengan pasar utama Amerika Serikat (60 persen), diikuti Singapura, Belanda, Prancis, Tiongkok, Kanada, Jerman, dan Australia.
Meski nilainya menurun, Indonesia tetap menjadi produsen kedua terbesar dunia dengan produksi 2.306 ton atau 30,3 persen dari total global (FAO, 2020). Cita rasa vanili Indonesia yang berani, smokey, dan kaya vanilin menjadi daya tarik tersendiri di industri cokelat dan parfum premium.
Baca juga: Amerika Serikat minta vanili organik kering sebanyak 23 ton dari NTB
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.