Mengenal lebih dekat Hari Raya Galungan, beserta sejarahnya

1 week ago 11

Jakarta (ANTARA) - Umat Hindu di Indonesia, khususnya di Pulau Bali, mengenal berbagai hari suci keagamaan yang sarat akan makna spiritual. Salah satu hari raya yang paling penting dan dinantikan adalah Hari Raya Galungan, yang dirayakan setiap 210 hari sekali berdasarkan perhitungan kalender Saka Bali.

Galungan merupakan simbol kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (kejahatan), serta menjadi momentum spiritual untuk memperkuat nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.

Secara etimologis, kata "Galungan" berarti "bertemu" atau "bersatu," yang mencerminkan bersatunya kekuatan rohani dalam diri manusia untuk mengalahkan hawa nafsu serta dorongan negatif lainnya. Dalam kepercayaan Hindu, perayaan Galungan juga diyakini sebagai saat ketika para leluhur turun ke bumi untuk memberikan berkah dan perlindungan kepada para keturunannya.

Perayaan Galungan diawali dengan Penampahan Galungan, yang jatuh sehari sebelum hari raya utama. Pada hari ini, umat Hindu melakukan penyembelihan hewan, biasanya babi, sebagai simbol pengendalian diri terhadap sifat buruk dan sebagai wujud persembahan kepada Tuhan.

Puncak Hari Raya Galungan jatuh pada Rabu, 23 April 2025, yang kemudian diikuti oleh Umanis Galungan pada Kamis, 24 April 2025, di mana umat melakukan kunjungan ke rumah keluarga dan kerabat.

Sepuluh hari kemudian, umat Hindu melanjutkan rangkaian perayaan dengan Hari Raya Kuningan, yang jatuh pada Sabtu, 3 Mei 2025, dan didahului oleh Penampahan Kuningan pada Jumat, 2 Mei 2025. Kata “Kuningan” sendiri berasal dari kata “kuning” yang melambangkan kemuliaan dan kesejahteraan. Pada momen ini, umat Hindu memohon keselamatan dan kemakmuran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para dewata.

Tak hanya satu kali, perayaan Galungan dan Kuningan juga akan kembali berlangsung di pengujung tahun 2025, yakni pada Rabu, 19 November 2025 untuk Hari Galungan kedua, dan Sabtu, 29 November 2025 untuk Hari Kuningan kedua.

Jejak sejarah Hari Raya Galungan
Asal-usul Hari Raya Galungan telah tercatat dalam naskah kuno Lontar Purana Bali Dwipa, yang menyebutkan bahwa Galungan pertama kali dirayakan pada tahun 882 Masehi. Namun, perayaan ini sempat terhenti selama beberapa waktu karena berbagai pergolakan di Bali, termasuk wafatnya raja-raja di usia muda dan terjadinya bencana alam.

Menurut kisah yang berkembang, Raja Sri Jayakasunu yang memerintah pada masa itu merasa gelisah dan mencari jawaban atas derita yang melanda kerajaannya. Dalam pertapaannya, ia mendapat bisikan dari Dewi Durga bahwa segala musibah terjadi karena rakyat Bali tidak lagi memperingati Hari Raya Galungan. Sejak itulah, Raja Jayakasunu memerintahkan rakyatnya untuk kembali merayakan Galungan, dan terus dilestarikan hingga kini.

Makna filosofis Galungan
Perayaan Galungan tidak hanya menjadi momen ibadah, tetapi juga sarat makna filosofis. Dalam ajaran Hindu, Galungan merupakan peringatan atas kemenangan Dewa Indra dalam mengalahkan Mayadenawa, tokoh simbolis dari kejahatan. Selain itu, Galungan mengajarkan manusia untuk menaklukkan tiga jenis nafsu dalam diri, yaitu:

  • Kala Amangkutat (nafsu ingin berkuasa)
  • Kala Dungulan (nafsu ingin memiliki yang bukan haknya)
  • Kala Galungan (nafsu ingin menang dengan segala cara)

Dengan demikian, Galungan merupakan waktu yang tepat untuk merefleksikan diri, memperkuat kesadaran spiritual, serta mengucap syukur atas berkah kehidupan dan keharmonisan alam semesta.

Baca juga: 20 ucapan perayaan Hari Raya Galungan 2025

Baca juga: BBPOM uji sampel pangan jelang Galungan dan Kuningan di Bali

Baca juga: Disperindag Bali utamakan ketersediaan komoditas saat Galungan

Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |