Melibatkan Gen Z dan milenial dalam peningkatan gizi

2 weeks ago 6

Jakarta (ANTARA) - Generasi Z dan milenial selama ini masih mendapatkan banyak stigma sebagai anak-anak muda yang kurang memiliki ketahanan, bahkan dilabeli sebagai generasi stroberi, atau memiliki kecakapan yang baik di bidangnya, tetapi rentan terhadap masalah mental dan dianggap lemah ketika menghadapi tantangan.

Namun, kedua generasi yang lahir antara tahun 1981-1996 (milenial) dan 1997-2012 (Gen Z) tersebut, nyatanya selama ini telah memberikan kontribusi yang nyata dalam rangka peningkatan gizi masyarakat Indonesia.

Forum Generasi Berencana (Genre) Indonesia misalnya, dalam rangka memperingati Hari Gizi Nasional yang jatuh setiap 25 Januari, mengambil peran dalam peningkatan gizi anak-anak Indonesia lewat pemberian Makan Bergizi Gratis bagi anak-anak jalanan sekaligus memberikan edukasi bagi mereka tentang pentingnya nilai gizi.

Kontribusi tersebut, menurut Ketua Umum Forum Genre Indonesia 2024-2026 I Putu Arya Aditia Utama, merupakan langkah kolaborasi multipihak bersama para pemangku kepentingan untuk menepis stigma tentang gen Z dan milenial. Sekaligus membuktikan kontribusi remaja bagi bangsa dengan melihat titik yang belum tersentuh oleh pemerintah selama ini.

"Kita mengambil peran blind spot dari pemerintah. Ketika misalnya program pemerintah di bawah Presiden sudah menyasar sekolah-sekolah, Genre sekarang menyasar sekolah jalanan," ujar Arya.

Anak-anak jalanan lebih berisiko dua kali lipat mengalami stunting atau kekurangan gizi kronis karena kurang terpapar informasi dan edukasi mengenai makanan bergizi seimbang.

Sejak tahun 2019, Genre sudah aktif berkolaborasi dengan pemerintah untuk program-program percepatan penurunan stunting.

Menurut Arya, gaung program Makan Bergizi Gratis yang selama ini menyasar anak-anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita, merupakan perwujudan hadirnya negara kepada masyarakat, namun, ia tetap menekankan pentingnya mengutamakan masyarakat yang termarjinalkan, sehingga peran pemuda sangat dibutuhkan dalam bidang tersebut.

"Walaupun anak jalanan juga banyak isunya dibawa sama teman-teman Kementerian Sosial (Kemensos), tetapi kami rasa belum terlalu tergaungkan, padahal yang berisiko stunting itu, ya anak jalanan, dua kali lipat malah," kata Arya.

Oleh karena itu, menurutnya, peran Genre sebagai perpanjangan tangan ke anak-nak muda dan remaja ke depan akan aktif tidak hanya di pusat, tetapi juga mendorong seluruh pasukan yang ada di tingkat provinsi untuk berbagi makanan bergizi kepada anak-anak jalanan sekaligus memberikan edukasi secara berkelanjutan pada mereka.

Menurut hasil Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,5 persen. Angka tersebut hanya turun 0,1 persen dari tahun sebelumnya.

Penurunan itu masih jauh dari target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yaitu 14 persen pada tahun 2024.

Untuk itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) melakukan penyesuaian target penurunan stunting menjadi 18,8 persen di tahun 2025, dan diharapkan pada akhir masa RPJMN 2025-2029 dapat mencapai 14,2 persen.

Dokter Spesialis Anak Novitria Dwinanda mengatakan, deteksi dini atau skrining dan rujukan sangat penting dalam mewujudkan Generasi Maju Bebas Stunting (GMBS), sebab, skrining menjadi kunci dalam deteksi awal sehingga intervensi cepat dapat dilakukan.

“Skrining efektif mencakup pengukuran tinggi, berat badan, dan penilaian status gizi untuk memastikan anak tumbuh sesuai standar. Sehingga, deteksi dini memungkinkan penanganan tepat, mengurangi risiko komplikasi, dan memastikan anak mendapatkan perawatan optimal," kata Novitria.

Sedangkan rujukan, menurutnya, memastikan anak menerima intervensi yang tepat, seperti suplementasi gizi, perubahan pola makan, dan pemantauan intensif. Melalui rujukan yang tepat, anak dapat mengakses sumber daya yang diperlukan untuk memperbaiki status gizi dan mencegah dampak jangka panjang stunting.

Oleh karena itu, keterlibatan berbagai pihak dalam proses ini, mulai dari tenaga kesehatan hingga keluarga, akan sangat berkontribusi pada upaya mewujudkan Generasi Maju Bebas Stunting (GMBS).

Melibatkan generasi

Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/33/2025 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Kesehatan Gratis Hari Ulang Tahun, sebagai bukti kesiapan menjalankan salah satu program percepatan.

Juru Bicara Kemenkes Widyawati menjelaskan, deteksi dini sangat penting untuk pencegahan penyakit yang lebih serius, dengan memastikan setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk menjaga kesehatannya dan mencegah masalah kesehatan di masa depan.

Program Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) yang direncanakan dimulai pada Februari 2025, adalah kado ulang tahun dari negara untuk rakyatnya dengan tujuan mendeteksi masalah kesehatan sejak dini, mencegah penyakit, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Peran generasi muda dalam pemeriksaan kesehatan gratis tersebut salah satunya dapat dioptimalkan melalui penguatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Melalui UKS, maka para remaja yang tergabung dalam Palang Merah Remaja (PMR), maupun tim kesehatan yang ada di sekolah, dapat diberdayakan untuk memberikan edukasi tentang pentingnya kesadaran gizi untuk meningkatkan kualitas hidup anak-anak Indonesia.

Hal tersebut juga selaras dengan program Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti, yang mengajak seluruh siswa di Indonesia untuk menerapkan "Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat" demi membentuk karakter generasi muda melalui kebiasaan positif.

Tujuh kebiasaan tersebut, pertama yakni bangun pagi untuk memulai hari dengan energi dan produktivitas, yang kedua adalah beribadah sesuai agama masing-masing sebagai bentuk rasa syukur dan pembentukan spiritualitas.

Ketiga, yakni berolahraga secara rutin untuk menjaga kesehatan fisik dan mental, keempat makan sehat dan bergizi untuk mendukung tumbuh kembang yang optimal, serta kelima, gemar belajar agar menjadi generasi yang cerdas dan berdaya saing.

Keenam, yakni bermasyarakat dengan menjalin hubungan baik dengan teman sebaya dan lingkungan sekitar, dan ketujuh, tidur tepat waktu demi menjaga kebugaran tubuh dan pikiran.

Kampanye di media sosial

Belakangan, aktivitas fisik seperti berlari dan berjalan kaki cukup memengaruhi tren di media sosial karena banyak pemengaruh yang mengkampanyekan kegiatan-kegiatan komunitasnya lewat platform tersebut.

Sebagai pengguna yang dinilai paling aktif menggunakan media sosial, tentu tren tersebut membuat Gen Z dan milenial merasa takut tertinggal atau fear of missing out (FOMO) sehingga aktivitas seperti berlari dan berjalan kaki menjadi semakin digemari.

Hadirnya Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di berbagai wilayah juga membawa dampak yang cukup besar untuk mempertemukan berbagai individu maupun komunitas yang memiliki hobi berolahraga untuk saling bertemu, atau bahkan mengajak orang lain untuk saling menerapkan gaya hidup sehat dengan aktif bergerak dan mengkonsumsi makanan bergizi.

Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga dari Rumah Sakit Pondok Indah-Bintaro Antonius Andi Kurniawan menilai masyarakat di Indonesia semakin gemar menjalankan gaya hidup aktif yang banyak mendatangkan banyak manfaat bagi kesehatan.

"Tahun ini menurut saya semakin meningkat (tren gaya hidup aktif). Kalau kita bicara event lari, semakin banyak (orang yang ikut) dan kalau kita bicara Gelora Bung Karno (GBK) (orang yang jalan kaki) semakin ramai, terutama di Jakarta," katanya.

Menanggapi hasil riset Universitas Stanford (2017) yang menyebut orang Indonesia malas berjalan kaki, Andi mengatakan tren gaya hidup aktif yang semakin meningkat kemungkinan disebabkan oleh adanya penggunaan media sosial yang semakin marak.

Kehadiran banyak pemengaruh yang membawakan konten olahraga memicu masyarakat, terutama yang berusia muda, gemar mengikuti dan menerapkan masukan atau perilaku pemengaruh tersebut.

“Karena yang muda lebih suka main media sosial, jadi lebih mudah hidup aktif. Itu asumsi saya, karena saya belum punya datanya," ujar dia.

Terlepas dari berbagai stigma tentang milenial dan Gen Z, masyarakat tidak bisa memungkiri bahwa tumpuan masa depan bangsa terletak pada generasi tersebut. Kehadiran dan peran mereka untuk peningkatan gizi bangsa Indonesia harus diakui sebagai salah satu kontribusi besar yang membawa dampak positif untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |