Banjarmasin (ANTARA) - Supono melangkah dan bergegas ke dapur, ia mengambil sebilah parang dan mulai mengupas singkong-singkong hasil panen dari kebun miliknya. Desa Karang Intan, Kecamatan Kuranji, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, ini memisahkan pongkol demi pongkol dari buah singkong, untuk dikupas lebih banyak lagi.
Setelah cukup, singkong-singkong itu dibersihkannya. Supono kemudian merendam beberapa kilogram singkong di wadah dengan air bersih dan didiamkan selama tiga hari tiga malam. Singkong itu mulai empuk, Supono mencuci dan meniriskan dari air rendaman.
Tak jauh dari situ, Supono mengambil lesung sebuah alat penggiling tradisional, halus namun bertenaga menumbuk singkong-singkong yang sudah direndam tadi.
Singkong yang sudah ditumbuk kemudian dipres menggunakan kain halus hingga tidak menyisakan tirisan air. Singkong yang lembut kemudian disaring halus untuk dipisahkan dari serat-serat berbentuk urat keras. Penyaringan ini berulang-ulang dilakukan untuk memastikan tumbukan singkong lembut.
Supono menggunakan insting berapa lama harus merendam singkong di air dan berapa kali harus menyaring tumbukan singkong. Proses ini sangat menentukan hasilnya sebelum melanjutkan ke proses membentuk singkong halus menjadi butiran-butiran yang menyerupai bentuk beras. Supono membentuk singkong halus menjadi butiran-butiran kecil, memang belum 100 persen mirip dengan beras asli.
Setelah proses membentuk butiran-butiran, singkong dijemur di bawah terik matahari sekitar dua jam. “Nah di sini insting juga sangat diperlukan, kalau terlalu sebentar dijemur, nasi yang dihasilkan nanti lengket-lengket. Kalau terlalu lama dijemur, nasi yang dihasilkan nanti terlalu keras,” kata Supono menjelaskan.
Butiran yang menyerupai beras itu kemudian dikukus sekitar 30 menit. Setelah menghasilkan gumpalan, kemudian diurai dan didinginkan serta dilanjutkan dengan proses penyaringan untuk memisahkan bagian yang keras sehingga menyisakan bagian singkong yang paling lembut.
Butiran beras kemudian dijemur kembali di bawah terik matahari sekitar delapan jam sebelum ditampi untuk memastikan bagian-bagian keras menyerupai urat tidak menyatu di beras singkong. Proses ini adalah bagian terakhir. Sebelum menjadi nasi, butiran singkong dibersihkan dengan air dan dikukus selama 10-15 menit, nasi Oyek sudah bisa dihidangkan dan dicampur dengan bermacam lauk.
Oyek adalah produk beras analog berbahan singkong dari inovasi berkelanjutan hasil kreativitas Ketua Kelompok Tani Maju Makmur di Desa Karang Intan. Supono, ketua kelompok tani di desa itu yang pertama kali mengenalkan Oyek ke penduduk setempat. Melalui langkah kecil ini, beras Oyek diharapkan dapat berkontribusi terhadap pengendalian infladi di daerahnya.
Ekonomi tumbuh
Supono berkisah, inovasi ini lahir ketika pandemi COVID-19 melanda pada awal 2020 yang menyebabkan aktivitas ekonomi penduduk desa terbatas. Akses transportasi penopang sektor perdagangan dan menjadi tulang punggung mobilitas Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) nyaris terputus.
Supono yang mengandalkan sektor kebun tentu terbatas menjual hasil buminya untuk menghasilkan rupiah. Hampir dua tahun pemerintah membatasi aktivitas masyarakat untuk mencegah COVID-19 tidak menular lebih luas.
Karena kondisi ini, Supono memikirkan untuk menghasilkan rupiah dari hasil aktivitas di dalam rumah. Hingga akhirnya inovasi beras Oyek dihasilkan Supono sambil menyempurnakan sejak 2020.
Selama proses itu, Supono mulai mendapatkan perhatian dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kalimantan Selatan dan Bank Indonesia Kalimantan Selatan. Supono mendapatkan bantuan alat mesin dan pelatihan untuk mengembangkan Nasi Oyek agar lebih produktif dan bermutu.
Mesin ramah lingkungan penggiling singkong dan hemat listrik menjadi awal pengembangan produk Supono. Bantuan ini kemudian dikembangkan Bank Indonesia dengan alat mesin penggiling tanpa tenaga listrik. Supono tidak lagi menggiling dengan lesung alat tradisional, kini lebih leluasa dan hemat waktu.
Bahkan dengan mesin cetak teknologi canggih bantuan dari Bank Indonesia, Supono tidak lagi membentuk cetakan beras singkong menggunakan tangan. Bantuan ini mempermudah Supono agar butiran singkong yang dibentuk dapat menyerupai persis seperti butiran beras asli.
Pada 2023, produk olahan Supono resmi didaftarkan dan memiliki hak cipta hingga berlabel halal. Dengan kemasan plastik dominan berwarna putih, beras Oyek kini dikenal masyarakat luas di daerah itu.
Supono juga menerima bantuan rumah produksi Nasi Oyek yang dipusatkan di Kelompok Tani Maju Makmur untuk mengembangkan dan memasarkan Nasi Oyek. Dengan modal sekitar 3 kg singkong mentah yang jika dinominalkan mencapai Rp9.000, Supono mampu menghasilkan 1 kg Nasi Oyek dengan nilai jual Rp20.000, yang artinya Supono mendapatkan laba sekitar 100 persen dari modal.
“Ini hanya hitung-hitungan ekonomi. Kalau yang sebenarnya lebih untung karena singkong dari kebun sendiri, tenaga sendiri tanpa menggaji pekerja, semua dikerjakan di rumah. Harga bisa bersaing dengan beras padi, tidak terlalu rugi karena Oyek bisa diproduksi dengan mudah,” kata Supono.
Jika dibandingkan dengan nasi dari beras lokal, Nasi Oyek mengandung karbohidrat kompleks yang mengandung molekul Olizosakarida dan Polisakarida. Kandungannya lebih banyak dibandingkan nasi beras lokal dengan karbohidrat sederhana seperti monosakarida.
Karbohidrat yang terkandung dalam Oyek akan diserap lebih lambat oleh tubuh sehingga produksi energi dapat terus berlanjut. Dengan cara ini, tubuh tidak mudah merasa lapar dan terhindar dari obesitas.
Oyek dapat disimpan lama jika terbungkus rapat menggunakan kantong plastik bisa tahan hingga 3 tahun, dan jika sudah dimasak bisa bertahan 3 hari, tidak basi dan tidak berjamur. Berkat inovasi itu, Supono dan warga desa setempat tidak menggantungkan pangan dari komoditas beras.
Menyumbang inflasi
Staf Bidang Ketahanan Pangan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kalimantan Selatan Puji Hanifah, mengungkapkan provinsi berpenduduk sekitar 4,2 juta jiwa ini sudah terbiasa dengan beras lokal. Harga beras lokal yang kerap melambung karena tingginya permintaan bisa mencapai Rp25.000 per liter.
“Penduduk lokal itu sudah terbiasa dengan tekstur beras lokal, jadi sudah biasa kalau harga beras sering naik karena tingginya permintaan yang dapat menyumbang inflasi. Komoditas beras yang kerap menyumbang inflasi itu beras lokal,” kata Puji.
Dukungan pemerintah daerah terhadap inovasi kelompok tani itu pun sejalan dengan langkah pemerintah pusat untuk meragamkan jenis-jenis pangan di daerah, sebagai salah satu upaya mengendalikan inflasi dari sektor beras.
Inovasi positif ini pun terus dikembangkan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kalimantan Selatan melalui pembinaan bagi kelompok tani. Bahkan tidak hanya di kalangan kelompok tani. Saat ini di beberapa desa dengan salah satu program unggulan ketahanan pangan telah menjangkau Kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa.
Pada 2025, pemerintah daerah setempat memfasilitasi pendanaan sebesar Rp120 juta bagi Kader PKK pada empat desa di Hulu Sungai Selatan dan Tapin dengan fokus diversifikasi pangan untuk berinovasi menghasilkan banyak jenis pangan yang diolah dari umbi-umbi, pisang, dan tanaman hortikultura lain untuk diolah menghasilkan produk berlabel halal.
Berdasarkan data rutin yang dirilis setiap bulan oleh Badan Pusat Statistik Kalimantan Selatan, secara y-o-y, sektor pangan jenis beras, nasi, hingga konsumsi rumah tangga selalu menyumbang inflasi. Data terakhir pada Juli 2025, inflasi y-o-y di Kalimantan Selatan tercatat di angka 2,48 persen.
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kalimantan Selatan menilai pentingnya langkah kolaborasi untuk memperkuat ketahanan pangan masyarakat di daerah dengan berbagai inovasi, salah satunya melalui diversifikasi pangan guna memperluas jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat.
Kalimantan Selatan telah dan terus mengambil langkah atau cara yang dapat dilakukan di antaranya dengan mengubah pola konsumsi masyarakat, meningkatkan produksi pangan lokal serta menciptakan stabilitas harga.
Mengubah pola konsumsi masyarakat dapat dilakukan melalui pengenalan berbagai jenis pangan lokal, meningkatkan produksi pangan lokal dengan diversifikasi pangan guna membantu meningkatkan ketersediaan pasokan pangan dan mengurangi tekanan inflasi, serta menjaga stabilitas harga secara berkelanjutan.
Berkat usaha serius, Kalimantan Selatan telah beberapa kali menerima penghargaan TPID Award yakni pada 2023 dan 2024. Provinsi Kalimantan Selatan memperoleh penghargaan dalam kategori “TPID Provinsi Berkinerja Terbaik” di wilayah Kalimantan.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.