Jakarta (ANTARA) - Kementerian Agama akan menggelar International Conference on Islamic Eco-theology for the Future of the Earth (ICIEFE) pada 14–16 Juli 2025 di Jakarta yang menjadi penutup rangkaian kegiatan Peaceful Muharam 1447 Hijriah.
"Konferensi ini akan melibatkan berbagai unsur, yaitu pemerintah, akademisi dalam dan luar negeri, masyarakat sipil, dan media. Generasi muda dari pesantren, universitas, dan komunitas lingkungan juga turut ambil bagian," ujar Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Abu Rokhmad di Jakarta, Jumat.
Abu menjelaskan kegiatan tersebut merupakan bagian dari implementasi Asta Protas Menteri Agama, pada butir keempat yang menekankan pentingnya ekoteologi.
Mandat ini, juga sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, pada butir kedelapan tentang penguatan harmoni lingkungan dan toleransi antarumat beragama.
Abu menyebut konferensi ini digelar sebagai respons atas situasi global yang tengah dihadapi dunia saat ini. Kondisi ini disebut belum pernah terjadi sebelumnya, ditandai dengan munculnya fenomena triple planetary crisis atau krisis tiga dimensi planet.
Baca juga: YBM BRILiaN raih penghargaan dari Kemenag atas ekoteologi air bersih
Fenomena ini mencakup tiga persoalan yang saling berkaitan, yakni perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, serta meningkatnya tingkat polusi. Ketiganya menjadi ancaman serius terhadap keberlanjutan ekosistem bumi dan kesejahteraan umat manusia.
"Konferensi ini akan mendorong lahirnya kebijakan dan aksi sosial yang tidak hanya berbasis teknokrasi, tetapi juga nilai-nilai spiritual," kata Abu.
Konferensi ini juga merupakan tindak lanjut dari Deklarasi Istiqlal 2024 yang menegaskan pentingnya Pancasila sebagai landasan filosofis dalam membangun etika bumi dan solidaritas ekologis lintas iman. Krisis lingkungan telah menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup manusia.
Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2025, suhu global telah meningkat 1,3 derajat celsius dibandingkan masa praindustri, mendekati ambang batas 1,5 derajat yang ditetapkan dalam Paris Agreement.
Baca juga: Kemenag kembali gelar AICIS+, ekoteologi jadi salah satu bahasan
Di Indonesia, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa 63 persen wilayah rawan bencana terkait langsung dengan krisis ekologis, seperti banjir, kebakaran hutan, krisis air, dan gagal panen.
"Wacana ekoteologi Islam belum terintegrasi dalam kebijakan publik maupun pendidikan. Indonesia sebagai negara Muslim terbesar memiliki peran penting dalam menawarkan solusi berbasis nilai-nilai Islam yang ramah lingkungan," kata dia.
Sementara itu, Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah Arsad Hidayat menjelaskan konferensi ini diharapkan menghasilkan dua produk utama, yaitu draf buku ekoteologi Islam dan global, serta policy brief sebagai masukan dalam penguatan kebijakan publik ramah lingkungan.
Baca juga: Menag sebut Indonesia tempat yang tepat pusat peradaban Islam baru
"Subdirektorat Kepustakaan Islam pada Ditjen Bimas Islam Kemenag, akan mengambil peran dalam menerbitkan buku dan policy brief hasil konferensi sebagai bentuk kontribusi intelektual," kata dia.
Selain itu, hasil konferensi juga akan menjadi masukan bagi Tim Penyempurnaan Al Quran dan Tafsir Kemenag dalam menyempurnakan tafsir ayat-ayat yang berkaitan dengan lingkungan.
"Kami ingin menghadirkan ekoteologi Islam yang kontekstual, berbasis Al Quran, Sunnah, dan tradisi keislaman Nusantara, sekaligus mendorong partisipasi aktif generasi muda," kata Arsad.
Baca juga: Menag dan Ephorus HKBP serukan jaga lingkungan hidup
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.