Komitmen menjaga APBN tetap dalam koridor

3 hours ago 1

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Keuangan akhirnya mengumumkan laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) KiTa (Kinerja dan Fakta) tahun anggaran 2025.

Sebelumnya, instansi bendahara negara ini menjadi sorotan lantaran tak kunjung mempublikasikan laporan APBN. Kementerian Keuangan biasanya bakal menggelar konferensi pers APBN KiTa dalam dua sampai tiga minggu setelah tutup buku bulan fiskal. Akan tetapi, tak ada kabar kinerja APBN pada Januari 2025 hingga pertengahan Maret 2025. Penundaan ini cukup menimbulkan tanda tanya terkait transparansi pengelolaan keuangan negara pada rezim Prabowo Subianto.

Beberapa kali dikonfirmasi, pihak Kementerian Keuangan menyatakan penundaan pengumuman itu imbas padatnya agenda kenegaraan. Hingga akhirnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan sendiri alasan pihaknya ‘sengaja’ memundurkan konferensi pers APBN: “Kami menunggu data stabil agar tidak ada misinterpretasi,” katanya dalam konferensi pers, Kamis(13/2).

Data APBN Januari 2025 sempat bocor sekitar dua hari yang lalu, sebelum kembali ditarik dengan segera oleh Kementerian Keuangan. Sempat beredar kabar bahwa Kementerian Keuangan akan mengumumkan laporan Januari dan Februari bersamaan pada konferensi pers edisi Maret. Akan tetapi, saat konferensi pers, Kementerian Keuangan melaporkan data akumulasi kinerja APBN hingga Februari, tanpa memisahkan laporan antara Januari dan Februari.

Baca juga: Airlangga: Program Lebaran dorong pertumbuhan ekonomi dan daya beli

Defisit dari awal tahun

Salah satu sorotan utama dalam kinerja APBN per 28 Februari 2025 adalah rekor defisit sejak awal tahun. APBN mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun per akhir Februari, atau 0,13 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Rekor itu cukup menjadi anomali mengingat umumnya APBN mencatatkan surplus pada beberapa bulan pertama tahun fiskal. Terakhir kali APBN mencetak defisit pada awal tahun terjadi pada Januari 2021, dengan defisit 0,27 persen. Namun, mengingat periode itu merupakan fase awal kemunculan COVID-19, defisit anggaran bisa dipahami.

Sementara tahun ini, APBN dibuka dengan defisit 0,10 persen PDB pada Januari dengan nilai minus Rp23,45 triliun, dan defisitnya terus berlanjut pada Februari.

Sri Mulyani dalam konferensi pers memastikan defisit itu masih dalam koridor target yang telah ditetapkan. Angka 0,13 persen masih jauh dari target defisit 2,53 persen PDB atau Rp616,19 triliun pada APBN 2025.

Akan tetapi, pernyataan afirmasi Sri Mulyani belum bisa membuat tenang para ekonom.

Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai munculnya defisit sejak awal tahun menjadi sinyal bahwa tahun fiskal kali ini tidak bisa disikapi dengan biasa. Ketahanan fiskal Indonesia yang dapat dijaga dalam dua tahun terakhir, kini dianggap berada pada persimpangan jalan antara keberlanjutan fiskal dan potensi krisis defisit.

Senada, Center of Economics and Law Studies (Celios) pun mengaku khawatir defisit anggaran tahun ini bisa melebar dari target yang ditetapkan, bahkan melampaui 3 persen, standar yang ditetapkan dalam undang-undang.

Baca juga: Pemerintah tarik pembiayaan utang Rp224,3 triliun per Februari

Penurunan pajak yang drastis

Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda menaruh perhatiannya pada "rapor merah" penerimaan pajak. Dari data APBN Januari, penerimaan pajak turun drastis hingga 41,8 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), dengan realisasi Rp88,89 triliun. Tahun lalu, serapan pajak mencapai Rp152,89 triliun pada Januari.

Huda berpendapat, ada dua alasan yang memicu turunnya penerimaan pajak secara signifikan: pengembalian lebih bayar pajak pertambahan nilai (PPN) tahun 2024 dan kendala implementasi sistem Coretax.

Dalam konferensi pers APBN KiTa, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu yang bertugas menyampaikan laporan penerimaan negara sama sekali tak menyinggung Coretax ketika menyebutkan kendala penyerapan pajak.

Menurut Anggito, faktor pemicu melambatnya setoran pajak pada awal 2025 adalah penurunan harga komoditas dan efek kebijakan administratif.

Pada Januari—Februari, sejumlah komoditas utama mengalami penurunan harga, di antaranya batu bara (-11,8 persen), brent (-5,2 persen), dan nikel (-5,9 persen).

Dari segi kebijakan administratif, sistem tarif efektif rata-rata (TER) yang diterapkan sejak Januari 2024 menimbulkan lebih bayar senilai Rp16,5 triliun, yang perlu dikembalikan pada Januari dan Februari 2025. Di sisi lain, relaksasi penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri (DN) juga disebut menjadi faktor.

Meski bergerak melambat, Anggito meyakinkan bahwa tidak ada anomali dalam kinerja penerimaan pajak. Setidaknya dalam progres hingga Februari, penerimaan pajak mulai bergerak lebih kencang dengan realisasi Rp187,7 triliun.

Angka itu sebetulnya turun sekitar 30,19 persen dari realisasi periode yang sama tahun lalu sebesar Rp269,02 triliun. Tetapi, kata Anggito, perlambatan pada Januari dan Februari merupakan tren musiman tiap tahun.

Dia pun memilih untuk membandingkan data penerimaan Desember, Januari, dan Februari. Hal itu untuk membuktikan tren perlambatan pada dua bulan pertama tahun setelah mengalami peningkatan transaksi pada Desember berkat periode Natal dan tahun baru.

Dari data rata-rata penerimaan di tiga bulan itu, kinerja Desember 2024 hingga Februari 2025 masih lebih baik dari periode yang sama tahun sebelumnya. Data itu yang ia sebut sebagai "data yang normal".

Baca juga: Wamendagri sebut program Makan Bergizi Gratis dibiayai APBN

Penyaluran belanja pemerintah

Serupa dengan penerimaan pajak, kinerja belanja pemerintah juga bergerak melambat. Pada Januari, terjadi perlambatan belanja pemerintah pusat sebesar 10,76 persen (yoy), dengan belanja kementerian/lembaga (K/L) turun tajam 45,5 persen (yoy).

Direktur Kebijakan Publik Celios Media Askar menggarisbawahi belanja pemerintah merupakan salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi. Dia meminta pemerintah mewaspadai dampak dari perlambatan ini.

Sorotan lainnya terkait dengan skala prioritas belanja. Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai pemerintah perlu menata ulang prioritas belanja. Di tengah melambatnya penerimaan, evaluasi terhadap kebijakan populis dianggap perlu dilakukan. Belanja pemerintah harus lebih fokus menopang kelompok rentan dan program yang memberikan efek ekonomi berganda.

Mengimbangi kritik itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan komitmen pemerintah dalam membuat kebijakan yang mengutamakan rakyat. Sebagai contoh, belanja pemerintah pusat yang manfaatnya dirasakan langsung oleh rakyat nilainya mencapai Rp166,6 triliun.

Angka itu termasuk penyaluran Kartu Sembako senilai Rp10,3 triliun, insentif untuk Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN) Rp7,7 triliun, subsidi energi Rp10,6 triliun, hingga program Makan Bergizi Gratis Rp710,5 miliar.

Suahasil juga menekankan kebijakan efisiensi anggaran belanja pemerintah tak berdampak pada belanja bantuan sosial dan pendidikan. Untuk bansos, pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar Rp25,9 triliun per Februari. Sementara realisasi untuk sektor pendidikan Rp76,4 triliun. Terkait hal ini, Suahasil pun memastikan anggaran pendidikan akan tetap dialokasikan sebesar 20 persen dari APBN sebagaimana yang telah ditetapkan undang-undang.

Adapun terkait kritik melambatnya serapan belanja pemerintah, Suahasil menyebut hal itu dipengaruhi oleh belanja pemilu dan bantuan pangan yang tak terulang pada tahun ini. Setidaknya per Februari 2025, belanja negara telah terserap 7,8 persen dari pagu dengan realisasi Rp211,5 triliun. Rinciannya, belanja K/L terealisasi sebesar Rp83,6 triliun dan belanja non-K/L Rp127,9 triliun.

Baca juga: Pemerintah menyerap penerimaan negara bukan pajak Rp76,4 triliun

Baca juga: Kemenkeu catat penerimaan bea dan cukai tembus Rp52,6 triliun

Pengelolaan utang

Hingga akhir Februari, pemerintah telah menarik pembiayaan utang baru senilai Rp224,3 triliun, setara dengan 28,9 persen dari target APBN. Pembiayaan utang itu terdiri dari pembiayaan surat berharga negara (SBN) neto Rp238,8 triliun dan pinjaman neto minus Rp14,4 triliun.

Sri Mulyani mengakui terjadi penarikan pembiayaan yang cukup besar pada dua bulan pertama tahun 2025. “Ini berarti ada perencanaan dari pembiayaan yang cukup front loading. Artinya, realisasinya di awal cukup besar,” katanya dalam konferensi pers.

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mewanti-wanti pengelolaan utang yang tak terkendali bisa membuat peringkat surat utang pemerintah mengalami evaluasi. Efek domino lainnya adalah potensi meningkatnya beban utang, terjadinya crowding out effect di sektor keuangan, dan risiko kebutuhan efisiensi belanja yang lebih besar pada tahun depan.

Tetapi hingga sejauh ini, setidaknya, keseimbangan primer APBN masih mencetak surplus Rp48,1 triliun. Keseimbangan primer mencerminkan kemampuan negara mengelola utang. Dengan surplus keseimbangan primer, maka kondisi fiskal dapat dikatakan masih cukup memadai untuk mengelola pendapatan, belanja, dan utang.

Baca juga: Sri Mulyani pastikan efisiensi tak mengganggu target defisit APBN 2025

Menjaga APBN

Dalam konferensi pers, Sri Mulyani berulang kali menyampaikan komitmennya untuk menjaga APBN tetap dalam koridor.

Perlambatan penerimaan pajak, kebijakan efisiensi anggaran yang memicu realokasi dana, hingga penarikan utang yang lebih cepat akan tetap diupayakan untuk tidak membuat defisit APBN 2025 jauh melebar dari target 2,53 persen PDB.

Postur APBN pun tetap akan dijaga, di mana target belanja negara tetap dengan angka Rp3.621,3 triliun.

Sri Mulyani meminta publik untuk bersabar melihat perkembangan kas negara ke depannya. Risiko defisit akan dia sampaikan lebih lanjut pada laporan semester di pertengahan tahun nanti.

Sementara itu, Achmad memberikan sejumlah masukan untuk pemerintah guna menghindari risiko gejolak APBN menjadi "bom waktu" bagi perekonomian nasional.

Sarannya itu mencakup reformasi administrasi pajak harus dilakukan bertahap dan terukur, perbaikan Coretax harus dibarengi dengan solusi jangka pendek bagi wajib pajak, penataan ulang belanja prioritas yang berfokus pada rakyat dan pemulihan ekonomi, diversifikasi pendapatan negara (optimalisasi dividen BUMN, efisiensi aset negara, hingga kerja sama investasi swasta), dan memastikan pengelolaan utang tetap dalam struktur yang aman dan tidak membebani APBN dalam jangka panjang.

Catatan yang tak kalah penting adalah soal transparansi. Meski Sri Mulyani menyatakan penundaan laporan APBN demi menghindari misinterpretasi, kesan ketiadaan transparansi itu tak bisa dielakkan yang membuat pelaku ekonomi gusar.

Alasan Sri Mulyani itu cukup paradoks mengingat dia kerap kali menyatakan transparansi dan akuntabilitas merupakan pilar demokrasi yang terus pihaknya jaga sebagai bendahara negara (salah satunya diungkapkan dalam Final Lomba Cerdas Cermat APBN 2024, 8 Oktober 2024).

Bila dia ingin mengambil simpati publik, tradisi transparansi APBN perlu untuk terus dilanggengkan. Dengan begitu, publik bisa memercayai bahwa, meski ada berbagai gejolak, pengelolaan APBN oleh negara tetap berjalan sesuai koridor.

Baca juga: Direktur CORE sebut deflasi juga dipengaruhi pelemahan daya beli

Baca juga: Prabowo: Pendidikan prioritas utama APBN untuk capai kemakmuran

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |