Banda Aceh (ANTARA) - Peneliti Filologi Melayu-Aceh dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh Hermansyah mengusulkan agar Pemerintah Aceh mendirikan museum manuskrip kuno guna merawat dan mendokumentasikan peninggalan sejarah.
Usulan ini disampaikan Hermansyah di Banda Aceh, Jumat, karena dia mengamati manuskrip di Aceh belum terdokumentasi dengan baik secara fisik dan tercecer di banyak pihak.
"Kami perkirakan ada sekitar 10.000 manuskrip di Aceh, tetapi yang dirawat oleh pemerintah hanya sekitar 2.000. Yang tersimpan di Museum Aceh sekitar 1.800, dan sekitar 300 manuskrip lainnya ada di Perpustakaan Wilayah Aceh," katanya.
Dia menyampaikan bahwa dari jumlah manuskrip tersebut, ada sekitar 8.000 manuskrip lainnya masih berada sebagai koleksi pribadi masyarakat di berbagai daerah seperti Aceh Utara, Pidie, Aceh Barat, dan Nagan Raya.
Namun, dia menyayangkan kondisi manuskrip-manuskrip tersebut sering kali tidak terawat dengan baik. Bahkan, jumlahnya terus berkurang setiap tahun akibat kerusakan alami atau berpindah tangan ke pihak lain.
“Misalnya saya menemukan naskah di Lampanah Aceh Besar, tahun ini ada. Tahun depan sudah tidak ada lagi. Apakah dia bermigrasi ke Banda Aceh atau ke luar tidak tahu. Itu yang migrasi, belum lagi yang rusak,” katanya.
Baca juga: UIN Ar-Raniry dan Museum Aceh perkenalkan warisan budaya daerah
Baca juga: Filolog pamer rempah dalam manuskrip Aceh sejak abad ke 16
Selain itu, Hermansyah juga menyoroti kurangnya dokumentasi detail terhadap manuskrip-manuskrip yang telah dikoleksi oleh pemerintah. Menurutnya, ribuan manuskrip yang tersimpan seperti di Museum Aceh belum dilengkapi dengan indeks yang diperlukan untuk memudahkan penelusuran.
"Dari ribuan manuskrip yang ada di Museum Aceh, belum ada yang terdokumentasi secara detail mengenai isinya. Misalnya, kalau ada orang yang ingin mencari manuskrip tentang kuliner, mereka tidak bisa langsung menemukannya karena belum ada indeks untuk mempermudah pencarian," katanya.
Agar manuskrip-manuskrip tersebut tidak hanya menjadi sekadar koleksi, dia juga menekankan perlunya kajian lebih lanjut terhadap manuskrip-manuskrip tersebut guna mengedukasi masyarakat tentang isinya.
Selain itu, upaya digitalisasi dan alih aksara juga sangat penting agar informasi dalam manuskrip Aceh dapat lebih mudah diakses oleh masyarakat luas.
"Kita butuh program alih aksara dan alih bahasa agar manuskrip bisa lebih mudah dibaca dan dipahami oleh masyarakat. Saat ini, manuskrip kuno banyak yang menggunakan bahasa Aceh lama atau tulisan Arab Jawi yang tidak semua orang bisa baca," katanya.
Oleh karena itu, Hermansyah menilai bahwa pendirian museum khusus manuskrip kuno sangat diperlukan. Museum ini dapat menjadi wadah bagi pemerintah untuk memamerkan hasil digitalisasi dan alih aksara serta menyelenggarakan kajian manuskrip.
Selain berfungsi untuk melestarikan warisan intelektual para ulama dan ilmuwan Aceh, Hermansyah berpendapat museum ini memiliki potensi besar mendatangkan wisatawan baik domestik maupun internasional.
"Museum ini nantinya dapat menjadi pusat informasi manuskrip Aceh dan saya pikir ini juga dapat menjadi potensi wisata dengan mempromosikan sejarah Aceh," katanya.
Baca juga: Perpustakaan nasional konservasi ratusan manuskrip Aceh
Baca juga: Peneliti: 200 manuskrip Aceh dijual ke luar negeri
Pewarta: Nurul Hasanah
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2025