Semarang (ANTARA) - Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengingatkan mengenai dampak berbahaya gawai atau gadget terhadap pengembangan karakter generasi muda.
"Saat ini tantangan kita cukup menantang ya, terutama di dunia pendidikan. Tadi seperti yang saya sampaikan, anak-anak mengalami adiksi gawai," kata Kepala Puspeka Rusprita Putri Utami di Semarang, Jawa Tengah, Rabu.
Hal tersebut disampaikan saat "Fasilitasi dan Advokasi Kebijakan Penguatan Karakter 2025 di Provinsi Jawa Tengah" yang digelar Puspeka dan Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Jateng.
Menurut dia, globalisasi dan era digital menjadi tantangan pertama pembangunan karakter bangsa, seiring dengan mudahnya arus informasi dan data diakses dari berbagai sumber.
Baca juga: Menteri PPPA usul ke Kemendikdasmen tugas sekolah tak lagi lewat gawai
"Ada risiko adiksi gawai. Saat ini pasien yang masuk RSJ usia anak yang signifikan karena adiksi gawai dan pornografi. Adiksi gawai secara medis jauh lebih berbahaya dari adiksi narkoba," katanya.
Kemudian anak-anak sekarang ini juga diistilahkan sebagai Generasi Strawberi, kata dia, meminjam istilah Rhenald Kasali, yang terlihat kuat dari luar, tapi ternyata dalamnya rapuh.
Ia mengatakan generasi sekarang ini juga cenderung rentan kondisi kesehatannya karena kebiasaan yang tidak bagus, seperti malas gerak (mager), begadang, dan suka mengonsumsi minuman manis.
Untuk memperkuat karakter generasi muda, kata dia, Puspeka melakukan berbagai upaya, salah satunya kegiatan fasilitasi dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan terkait.
Baca juga: Pendidikan karakter bentengi anak dari dampak negatif internet
"Kami sengaja mengundang berbagai unsur di ekosistem pendidikan. Sebenarnya harapan kami adalah setiap unsur yang ada di ekosistem ini bisa saling bertemu dan berdiskusi," katanya.
Ia juga menegaskan peran orang tua terhadap pembentukan karakter anak sangat penting, sebab anak-anak akan banyak belajar bersama keluarganya dari keteladanan.
"Tidak perlu teori muluk dan rumit, cukup melalui proses pembiasaan dan arbitrasi mampu membentuk kebiasaan dan karakter. Jika dilakukan secara kolektif akan menjadi kebudayaan," katanya.
Baca juga: Praktisi sebut perlu ada pembatasan penggunaan gawai bagi siswa
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.