Jakarta (ANTARA) - Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA-CEPA) menandai babak baru dalam sejarah hubungan dagang Indonesia. Perjanjian ini bukan sekadar soal tarif, tetapi juga bagian dari strategi diplomasi ekonomi yang lebih luas.
Sebagai CEPA pertama Indonesia di kawasan Amerika Utara, ICA-CEPA menempati posisi strategis. Perjanjian ini bisa dibilang bukan hanya simbol keberhasilan diplomasi, tetapi juga membuka peluang praktis seperti perluasan pasar ekspor, investasi, dan kerja sama teknologi.
Selama ini, ekspor Indonesia bertumpu pada Asia Timur, ASEAN, dan sebagian Eropa. Amerika Utara hanya menempati porsi kecil dalam peta perdagangan kita. Dengan adanya ICA-CEPA, peta itu mulai bergeser. Indonesia kini memiliki pintu masuk yang lebih ramah tarif untuk menembus pasar Kanada -- sebuah pasar yang kerap dianggap sulit dijangkau.
Kanada bukanlah pemain kecil dalam percaturan ekonomi global. Ekonominya relatif stabil, konsumennya memiliki daya beli tinggi, dan regulasi pasarnya ketat. Bagi eksportir Indonesia, kondisi ini adalah tantangan dan sekaligus peluang. Jika produk kita mampu menembus rak-rak Kanada, kredibilitasnya di mata pasar dunia otomatis meningkat.
Kanada berkepentingan menancapkan kaki lebih kuat di Asia Tenggara. Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di kawasan, dipandang sebagai mitra kunci. Situasi geopolitik dunia membuat rantai pasok harus lebih beragam. Dari sanalah, Kanada menilai Indonesia sebagai simpul strategis.
Sebaliknya, Indonesia berkepentingan memperluas basis ekspornya. Ketergantungan berlebihan pada sejumlah negara tertentu membuat risiko tinggi ketika terjadi guncangan. Maka, diversifikasi pasar menjadi keharusan agar ekonomi Indonesia tidak mudah terombang-ambing. Nah, ICA-CEPA menjadi salah satu jawaban untuk masalah tersebut.
Menuntut standar mutu
Secara teori, kehadiran ICA-CEPA dapat dijelaskan melalui konsep keunggulan komparatif David Ricardo.
Indonesia diuntungkan bila mengekspor barang yang relatif efisien diproduksi di dalam negeri, seperti tekstil, alas kaki, atau makanan olahan. Di sisi lain, Kanada lebih unggul menghasilkan gandum dan teknologi mutakhir sehingga lebih masuk akal bila Indonesia mengimpornya. Pola inilah yang melahirkan potensi saling menguntungkan.
Namun, tantangan tak kalah besar menghadang. Kanada dikenal dengan standar pasar yang ketat, mulai dari isu keberlanjutan hingga sertifikasi lingkungan. Industri dalam negeri dituntut bukan hanya efisien, tetapi juga mampu menembus persyaratan kualitas global. Jika tidak, keunggulan komparatif bisa berhenti pada potensi belaka, tanpa berubah menjadi keuntungan nyata.
Pertanyaan krusialnya, apakah industri nasional siap menjawab peluang ini? Ataukah Indonesia hanya akan menjadi pasar yang lebih terbuka bagi produk Kanada tanpa berhasil memperluas pijakan di pasar negara maju?
Baca juga: Kemenko: IEU-CEPA buka peluang dagang adil dan berkelanjutan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.