Badan Geologi dorong pengembangan sistem peringatan dini tanah longsor

1 hour ago 2
Rata-rata korban jiwa akibat gerakan tanah mencapai 200 orang per tahun, di samping kerusakan bangunan dan lahan produktif yang cukup luas

Jakarta (ANTARA) - Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendukung inisiasi pengembangan sistem peringatan dini bencana hidrometeorologi seperti banjir, gerakan tanah, atau tanah longsor, untuk meminimalkan risiko korban dan kerugian ekonomi daerah.

Kepala Badan Geologi Muhammad Wafid kepada ANTARA dalam konferensi pers daring “Update Status Gunung Api Indonesia” di Jakarta, Selasa, menjelaskan pihaknya memilik data sebaran kawasan rawan yang lengkap di seluruh Indonesia dan beberapa dilengkapi alat pemantauan berupa extensometer.

“Extensometer digunakan untuk memantau pergerakan tanah bertipe lambat atau creep, yang bisa menjadi indikator potensi longsor namun jumlahnya masih terbatas ini sebagai tantangan tersendiri,” kata Wafid.

Baca juga: Badan Geologi: 150 juta penduduk RI tinggal di kawasan rawan gempa

Menurut dia, tipe gerakan tanah di Indonesia beragam, mulai dari yang lambat, cepat, hingga yang memicu likuifaksi sehingga iteknologi pemantauan perlu terus dikembangkan.

Badan Geologi juga berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) serta Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan BPBD setiap kabupaten dan kota, untuk mengintegrasikan data hidrologi dan meteorologi dengan peta kerentanan geologi.

"Langkah ini diharapkan dapat memperkuat mitigasi bencana, terutama pada kawasan dengan populasi padat dan kondisi tanah rawan longsor," kata Wafid.

Baca juga: 24 gunung api Indonesia berstatus di atas normal-satu berlevel awas

Kebutuhan mendesak

Wafid tidak menampik bahwa keberadaan sistem peringatan dini menjadi kebutuhan mendesak, menyusul data Indonesia memiliki 60 persen wilayah yang rentan gerakan tanah, sehingga kecepatan informasi demi kesiapsiagaan ditingkat masyarakat sangat perlu untuk ditingkatkan.

Data Badan Geologi mencatat sebanyak 1.300 kejadian gerakan tanah atau longsor terjadi di Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir dengan kerugian rata-rata 400 hektare lahan pertanian setiap tahunnya.

Peristiwa tersebut banyak terjadi di wilayah perbukitan, termasuk seluruh wilayah Pulau Jawa yang menjadi kawasan padat penduduk.

“Rata-rata korban jiwa akibat gerakan tanah mencapai 200 orang per tahun, di samping kerusakan bangunan dan lahan produktif yang cukup luas,” kata Wafid.

Baca juga: Badan Geologi gandeng gereja sebarkan peringatan dini erupsi Lewotobi

Menurut dia, sekitar 60 persen wilayah Indonesia rawan terhadap bencana gerakan tanah dengan 41 juta jiwa tinggal di kawasan tersebut. Hal itu menempatkan longsor sebagai salah satu bencana geologi paling sering terjadi, selain gempa bumi dan erupsi gunung api.

Badan Geologi memastikan peta zona kerentanan gerakan tanah dan sistem peringatan dini berbasis curah hujan sudah ada dan bisa diakses secara luas oleh publik, dan menjadi rujukan pemerintah daerah dalam aksi tanggap darurat .

Selain itu Wafid mengingatkan potensi meningkatnya gerakan tanah seiring masuknya musim hujan, terutama di daerah dengan tanah gembur dan lereng curam. Dengan begitu koordinasi lintas lembaga menjadi penting untuk integrasi data geologi dan meteorologi sehingga sistem peringatan dini lebih efektif.

“Mitigasi bencana gerakan tanah tidak hanya soal peta dan sensor, tapi juga kesiapan masyarakat memahami risiko di lingkungannya,” tutur Muhammad Wafid.

Baca juga: Tetap waspada, ada 55 kali gempa letusan Gunung Lewotobi Laki-laki

Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |