Jakarta (ANTARA) - Setiap tanggal 22 April, dunia memperingati Hari Bumi sebagai momentum refleksi terhadap hubungan manusia dengan alam.
Tema peringatan pada 2025, "Kekuatan Kita, Planet Kita", mengajak masyarakat global untuk beralih ke energi terbarukan dan mengurangi konsumsi berlebih. Namun, pembangunan ekonomi telah menjauhkan banyak orang dari akar alamiah mereka, seperti pertanian, yang sebenarnya berada di jantung keberlanjutan bumi dan kesejahteraan masyarakat.
Pertanian memiliki dua sisi, dapat menyebabkan kerusakan lingkungan melalui praktik yang tidak berkelanjutan, namun juga berpotensi menjadi solusi melalui pendekatan ramah lingkungan seperti agroforestri dan pertanian organik.
Presiden Prabowo Subianto berulang kali menegaskan komitmennya untuk memperkuat sektor pertanian sebagai pilar ketahanan pangan nasional. Langkah-langkah yang telah diambil meliputi pemangkasan birokrasi dalam sektor pertanian, peningkatan anggaran untuk infrastruktur pertanian, serta perlindungan lahan produktif dari alih fungsi.
Baca juga: Hari Bumi, KLH ingatkan peran bank sampah kurangi timbulan sampah
Program peningkatan produksi pangan kembali digalakkan dengan target tambahan produksi pangan sebesar 20 juta ton gabah kering giling atau 10 juta ton beras. Selain itu, pemerintah juga mendorong pertanian modern dan inovasi teknologi pertanian untuk menarik minat generasi muda.
Hari Bumi 2025 menjadi pengingat bahwa menyelamatkan planet dimulai dari tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Menghargai petani, memilih pangan lokal yang berkelanjutan, menghemat penggunaan air dan energi, serta terlibat dalam upaya menjaga alam adalah langkah-langkah yang dapat diambil individu untuk berkontribusi.
Pilar Ekonomi
Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian yang memainkan peran vital dalam perekonomian nasional.
Namun, di balik kontribusi tersebut, sektor pertanian menghadapi berbagai tantangan serius. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri atau perumahan mengurangi luas lahan produktif.
Degradasi tanah akibat penggunaan pupuk kimia berlebihan dan praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan mengancam keberlanjutan produksi. Ketergantungan pada input pertanian sintetis juga meningkatkan biaya produksi dan merusak ekosistem. Kondisi ini menuntut transformasi menuju praktik pertanian berkelanjutan yang menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kelestarian lingkungan.
Sementara, beberapa daerah di Indonesia telah mulai menerapkan praktik pertanian berkelanjutan. Di Kabupaten Bandung, misalnya, petani mengadopsi sistem pertanian terpadu (integrated farming) yang menggabungkan tanaman pangan, peternakan, dan produksi biogas. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga mengurangi limbah dan emisi gas rumah kaca.
Selain itu, praktik seperti rotasi tanaman, penggunaan pupuk organik, dan agroforestri telah terbukti meningkatkan kesuburan tanah dan keanekaragaman hayati.
Baca juga: Pariwisata hijau: ekonomi sirkular untuk masa depan bumi
Untuk mencapai kedaulatan pangan yang berkelanjutan, inovasi teknologi pertanian juga perlu dikembangkan. Hasil penelitian IPB dan Badan Litbang Pertanian (saat ini Badan Perakitan dan Modernisasi) Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa penggunaan varietas padi tahan kekeringan dan sistem irigasi berbasis tenaga surya dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Penerapan teknologi ramah lingkungan ini memungkinkan peningkatan produksi tanpa merusak lingkungan. Dengan demikian, pertanian modern dapat menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan sekaligus menjaga kelestarian bumi bagi generasi mendatang.
Pertanian Berkelanjutan
Selama ini, sektor pertanian kerap dianggap sebagai biang keladi deforestasi di Indonesia. Namun, asumsi tersebut tidak sepenuhnya akurat.
Data dari Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) menunjukkan bahwa kontribusi kelapa sawit terhadap deforestasi global akibat komoditas pertanian hanya sekitar 2 persen.
Angka ini menegaskan bahwa penyebab deforestasi jauh lebih kompleks, mencakup praktik perizinan lahan, ekspansi infrastruktur, dan eksploitasi tambang yang belum terkendali. Oleh karena itu, menyalahkan sektor pertanian secara sepihak justru menutup ruang bagi pembenahan sistemik yang lebih luas.
Faktanya, banyak pelaku pertanian di Indonesia telah menerapkan pendekatan yang harmonis dengan alam. Di Sumatra Barat, misalnya, petani kopi di Lintau Buo mempraktikkan agroforestri dengan menanam pohon kayu manis dan alpukat di sela-sela kebun kopi mereka. Metode ini tidak hanya meningkatkan keanekaragaman hayati, tetapi juga menambah sumber pendapatan petani.
Sementara itu, di Nusa Tenggara Timur, praktik tambarangan, penggunaan mulsa alami dari jerami, terbukti mampu mengurangi erosi tanah hingga 40%. Inisiatif semacam ini menunjukkan bahwa pertanian dapat menjadi solusi, bukan ancaman, bagi keberlanjutan ekosistem.
Keberhasilan berbagai praktik lokal ini tidak lepas dari perpaduan antara kearifan tradisional dan inovasi teknologi. Saat ini, teknologi seperti drone untuk pemantauan kesehatan tanaman, pemetaan lahan berbasis kecerdasan buatan, serta pemanfaatan limbah pertanian untuk biogas mulai diterapkan di sejumlah wilayah. Inovasi-inovasi ini memperkuat posisi pertanian sebagai sektor yang adaptif terhadap tantangan iklim dan lingkungan.
Kuncinya adalah bagaimana pendekatan tersebut mendapat dukungan yang memadai dari sisi kebijakan, riset, dan edukasi. Kebijakan yang mendukung riset pertanian berkelanjutan, pemberian subsidi untuk teknologi hijau, serta pelatihan adaptasi iklim bagi petani adalah langkah strategis yang perlu diperluas.
Peringatan Hari Bumi seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat komitmen terhadap transformasi ini.
Baca juga: Indonesia-Kanada kolaborasi tanam 100 pohon ulin di Hari Bumi Sedunia
Pertanian untuk Bumi
Menyambut Hari Bumi 2025, ini saatnya seluruh elemen bangsa menyatukan langkah menjaga keberlanjutan Bumi. Sektor pertanian, sebagai tulang punggung pangan nasional, harus menjadi garda terdepan dalam agenda ekologis.
Namun, pertanian berkelanjutan tidak akan tercapai tanpa kolaborasi lintas sektor. Pemerintah perlu meninjau pembangunan yang masih abai terhadap prinsip keberlanjutan.
Di tingkat komunitas, berbagai inisiatif menunjukkan bahwa perubahan dimungkinkan dari bawah. Gerakan urban farming di Jakarta, Surabaya, dan kota besar lain membuktikan bahwa keterbatasan lahan bukan penghalang untuk berkontribusi dalam ketahanan pangan dan pengurangan emisi karbon.
Lahan sempit disulap menjadi kebun vertikal dan sistem hidroponik, sementara kampung seperti Tirto di Yogyakarta sukses memanfaatkan limbah rumah tangga untuk aquaponik. Di Kalimantan Tengah, Desa Mandiri Energi mengolah limbah kelapa sawit menjadi biogas. Semua ini menjadi contoh bahwa inovasi dan kearifan lokal bisa melahirkan solusi berkelanjutan selama ada keberpihakan kebijakan dan semangat kolektif.
Generasi muda menjadi kunci perubahan. Dengan literasi digital yang tinggi, mereka memiliki peran strategis, mulai dari promosi pertanian organik di media sosial hingga mendirikan startup yang menghubungkan petani dan konsumen secara langsung. Pendidikan lingkungan hidup perlu diperkuat sejak dini agar kesadaran ekologis tertanam dalam setiap keputusan konsumsi.
Di saat yang sama, perubahan di tingkat individu tetap penting. Mengurangi sampah makanan, yang menurut FAO mencapai 23 juta ton per tahun di Indonesia, memilih produk lokal, atau menanam sayuran di rumah adalah langkah sederhana yang bisa berdampak besar jika dilakukan secara kolektif.
Selamat Hari Bumi 2025. Mari jadikan pertanian sebagai kekuatan utama dalam ekonomi bangsa dan upaya merawat bumi, demi masa depan yang sejahtera serta lestari.
Baca juga: Indonesia-Kanada kolaborasi tanam 100 pohon ulin di Hari Bumi Sedunia
*) Kuntoro Boga Andri adalah Kepala Pusat Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP) Perkebunan, Kementerian Pertanian
Copyright © ANTARA 2025