Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno mengatakan hengkangnya perusahaan asal Korea Selatan, LG, dari Proyek Titan untuk pengembangan baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia tidak berhubungan dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang TNI.
“Saya, kok, tidak melihat ada relevansinya ke sana (RUU TNI), ya. Jadi, saya enggak berani berkomentar karena menurut saya benang merahnya itu enggak ada di situ,” kata Eddy saat ditemui di Jakarta, Selasa.
Eddy menghargai pendapat pihak tertentu yang menilai hengkangnya LG disebabkan pengesahan RUU TNI, sehingga disebut serupa dengan kondisi politik Korea Selatan beberapa waktu belakangan.
Namun demikian, anggota Komisi XII DPR RI ini memandang, pendapat tersebut tidak berkorelasi dengan proses keputusan investasi.
Baca juga: Pimpinan MPR bahas transisi energi hingga nuklir dengan Tony Blair
“Saya belum melihat ada relevansi yang erat terkait dua hal tersebut karena keputusan investasi ‘kan dilakukan berdasarkan berbagai aspek, yang dasarnya adalah keekonomian dan komersial,” ucapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, salah satu faktor mundurnya LG dari Proyek Titan bisa saja karena pesatnya revolusi teknologi dalam industri pengembangan baterai.
“Hari ini kita bicara baterai nikel, sekarang sudah ada LFP (lithium iron phosphate), bahkan sekarang ada baterai yang sifatnya blade batter yang mana itu tahan goncangan, tahan panas, dan memiliki kemampuan untuk melakukan recharging (mengisi daya ulang) secara sangat cepat,” katanya.
Baca juga: Wakil Ketua MPR siapkan solusi polusi udara Indonesia usai dari China
Faktor lainnya, sambung Eddy, dimungkinkan juga dari segi pertimbangan bahan baku. Sebab, teknologi saat ini sudah beralih seperti dengan adanya alternatif lain selain baterai berbasis nikel.
Terlepas dari itu, Eddy menyatakan bahwa Indonesia merupakan pasar besar untuk konsumsi baterai. Namun, di sisi lain, Indonesia juga merupakan salah satu basis produksi untuk ekspor baterai nantinya.
“Jadi, saya kira kita punya kemampuan untuk mengadopsi teknologi baterai, bisa memproduksi sendiri, memproduksi dengan mitra lain juga bisa. Dan tujuannya tidak hanya untuk konsumsi dalam negeri kita, tetapi juga untuk kita lakukan ekspor,” ujarnya.
Baca juga: Pimpinan MPR: Indonesia konsisten tidak retaliasi dalam perang tarif
Sebelumnya, Konsorsium Korea Selatan yang dipimpin oleh LG telah memutuskan untuk menarik proyek senilai sekitar 11 triliun won (Rp130,7 triliun) untuk membangun rantai pasokan baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia, menurut sumber Yonhap pada Jumat (18/4).
Konsorsium tersebut, yang meliputi LG Energy Solution, LG Chem, LX International Corp, dan mitra lainnya, telah bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan sejumlah perusahaan milik negara untuk membangun "rantai nilai menyeluruh" untuk baterai EV.
Inisiatif tersebut berupaya untuk mencakup seluruh proses mulai dari pengadaan bahan baku hingga produksi prekursor, bahan katode, dan pembuatan sel baterai.
Adapun Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, yakni bahan utama dalam baterai EV.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025