Jakarta (ANTARA) - Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) mencatat, laju deforestasi dunia menunjukkan tren perlambatan dalam satu dekade terakhir berdasarkan laporan Global Forest Resources Assessment (FRA) 2025.
Laporan yang diterbitkan setiap lima tahun itu menunjukkan bahwa luas hutan dunia kini mencapai 4,14 miliar hektare (ha), atau sekitar sepertiga dari total daratan bumi. Laju deforestasi menurun dari 17,6 juta ha per tahun pada periode 1990-2000 menjadi 10,9 juta hektare per tahun pada periode 2015-2025.
"Perkiraan laju deforestasi adalah sebesar 10,9 juta ha per tahun pada tahun 2015-2025, menurun dari 13,6 juta ha per tahun pada tahun 2000-2015 dan 17,6 juta ha per tahun pada tahun 1990-2000. Laju perluasan hutan melambat dari 9,88 juta ha per tahun pada tahun 2000-2015 menjadi 6,78 juta ha per tahun dalam dekade hingga tahun 2025," tulis laporan tersebut, Jakarta, Selasa.
Laporan FRA 2025 diluncurkan bersamaan dengan Global Forest Observations Initiative (GFOI) Plenary 2025 pada 21 Oktober 2025 di Bali, yang menjadi ajang pertemuan global para pengambil kebijakan, donor, dan praktisi kehutanan.
Selain mencatat penurunan laju kehilangan hutan (deforestasi), laporan FAO juga menyoroti lebih dari setengah kawasan hutan dunia kini berada dalam rencana pengelolaan jangka panjang, serta sekitar seperlima hutan dunia telah masuk kawasan lindung secara hukum.
Namun demikian, salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu mengingatkan bahwa ancaman terhadap ekosistem hutan masih besar.
Hutan di dunia masih hilang hampir 11 juta ha per tahun, yang menunjukkan bahwa upaya konservasi dan kebijakan pengelolaan hutan masih perlu ditingkatkan.
Perlambatan deforestasi juga diimbangi dengan penurunan laju perluasan hutan. Penanaman kembali dan ekspansi hutan baru kini berjalan lebih lambat dibandingkan periode sebelumnya, dari 9,88 juta ha per tahun (2000-2015) menjadi hanya 6,78 juta ha per tahun pada dekade terakhir.
Selain itu, gangguan terhadap hutan akibat kebakaran, hama, penyakit, serta dampak perubahan iklim juga terus menjadi tantangan serius bagi kesehatan dan fungsi ekologis hutan. Gangguan-gangguan tersebut mengancam keanekaragaman hayati dan peran hutan sebagai penyerap karbon.
FAO menyoroti pentingnya menghubungkan pengelolaan hutan dengan tujuan global seperti keanekaragaman hayati, mitigasi iklim, dan penggunaan lahan berkelanjutan. Maka dari itu, data kehutanan harus diintegrasikan ke dalam kebijakan lintas sektor agar manfaatnya lebih luas.
Lebih lanjut, melalui risetnya, FAO mencatat bahwa Indonesia termasuk dalam lima negara dengan area hutan primer terbesar di dunia, bersama Rusia, Brasil, Kanada, dan Republik Demokratik Kongo. Kelima negara itu menyumbang sekitar 75 persen dari total hutan primer global.
Direktur Divisi Kehutanan FAO Zhimin Wu dalam konferensi pers via Zoom di Jakarta, Selasa, menerangkan proses pengumpulan data Global Forest Resources Assessment (FRA) 2025 dilakukan secara inklusif dan dipimpin oleh negara masing-masing.
"Jadi ini bukan data yang FAO kumpulkan sendiri. Ini adalah data yang kami kumpulkan melalui 200 koresponden nasional dari 194 negara dan kawasan," ujar Zhimin Wu.
Sementara untuk negara yang belum menyampaikan data, FAO melakukan studi kasus guna melengkapi basis data global tersebut.
"Kami juga telah melakukan penelitian studi kasus untuk 42 negara dan kawasan lain yang belum memiliki data nasional. Saya pikir proses ini adalah proses yang inklusif, partisipatif, dan country-driven process," tambahnya.
Melalui laporan serta konferensi Global Forest Observations Initiative (GFOI) Plenary 2025, Zhimin Wu berharap pemerintah masing-masing negara dapat memanfaatkan hasil data ilmiah tersebut sebagai dasar dalam merancang kebijakan dan memperbaiki tata kelola hutan nasional.
"Ini juga penting kegunaannya bagaimana masing-masing negara bisa menggunakan data berdasarkan sains untuk memperbaiki kebijakan, kemudian memperbaiki pengelolaan hutannya di negara-negara masing-masing," kata dia.
Adapun Global Forest Observations Initiative (GFOI) Plenary 2025 digelar di Bali, Indonesia, serta dilaksanakan pada tanggal 21-23 Oktober 2025.
Baca juga: Melihat urgensi pemulihan lingkungan dan hutan di Indonesia
Baca juga: Mendag sebut IEU-CEPA buat Uni Eropa melunak soal EUDR
Baca juga: Menhut kejar implementasi perdagangan karbon sektor kehutanan
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.