Jakarta (ANTARA) - Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja menegaskan bahwa mencegah kejahatan siber membutuhkan kesadaran kolektif dan kemampuan masyarakat dalam membangun sikap antisipatif terhadap perkembangan teknologi digital yang sangat cepat.
"Tidak ada teknologi yang benar-benar aman karena mayoritas pengguna hanya berperan sebagai konsumen dan tidak memahami isi maupun risiko dari sistem yang digunakan," kata Ardi dalam diskusi membahas kejahatan siber di Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan bahwa pendekatan yang disebut centric awareness sangat penting dalam membangun budaya keamanan digital.
Konsep ini menekankan pada kepekaan individu dan institusi untuk mengenali ancaman siber dan memiliki kemampuan untuk merespons sebelum serangan terjadi.
Menurut Ardi, kecanggihan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) juga telah dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk membuat penipuan yang sulit dideteksi, seperti menggunakan wajah palsu atau suara tiruan.
Baca juga: VIDA tegaskan komitmen cegah kejahatan siber berbasis AI
Bahkan aplikasi berbasis deepfake kini tersedia secara luas di toko aplikasi, membuat publik semakin rentan.
Tidak hanya itu, Ia juga menyoroti pentingnya simulasi dan latihan penanganan insiden siber.
“Banyak rencana hanya di atas kertas. Ketika insiden terjadi, malah bingung sendiri karena tidak pernah dilatih,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ardi menekankan bahwa ruang digital yang disebutnya sebagai 'mayantara' ibarat hutan belantara yang penuh predator tak dikenal.
Oleh sebab itu, pengguna perlu memiliki helicopter view atau pemahaman menyeluruh terhadap ekosistem digital yang mereka masuki.
Ia menyebut, semua teknologi punya kerentanan, dari IoT sampai mobil listrik.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya untuk sadar dan terus belajar membangun sistem pertahanan siber berbasis edukasi dan kesiapsiagaan.
Ardi juga mengajak masyarakat dan institusi untuk tidak hanya memanfaatkan teknologi tanpa memahami bagaimana sistem tersebut bekerja.
Ia menilai bahwa banyak kejahatan siber terjadi karena kelengahan pengguna yang tidak menyadari bahwa teknologi yang mereka gunakan membawa risiko tinggi.
“Teknologi berubah dalam hitungan detik. Kejahatan juga ikut bertransformasi. Yang tidak berubah hanyalah niat jahat manusia. Maka kita harus lebih siap dari sekarang,” pungkasnya.
Baca juga: Komdigi tegaskan pentingnya mitigasi hadapi ancaman kejahatan siber
Baca juga: Ensign sebut serangan siber disponsori negara marak di Asia Pasifik
Baca juga: Hindari email diretas, gunakan dua langkah verifikasi keamanan
Pewarta: Adimas Raditya Fahky P
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































