BMKG prediksi kemarau 2025 lebih singkat, simak potensi risikonya

3 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Musim kemarau biasanya identik dengan udara panas, minim hujan, dan kondisi lingkungan yang lebih kering. Namun tahun ini, BMKG memprediksi kemarau akan berlangsung lebih singkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Meski terdengar melegakan, perubahan pola musim ini tetap perlu diwaspadai karena dapat menimbulkan berbagai risiko, mulai dari cuaca ekstrem hingga ancaman gagal panen.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyampaikan bahwa awal musim kemarau 2025 sudah mulai terjadi sejak April dan akan meluas ke berbagai wilayah hingga Juni mendatang. Meski durasinya diperkirakan lebih pendek, potensi dampak yang muncul tetap perlu diantisipasi sejak dini.

BMKG memprediksi puncak musim kemarau akan terjadi pada Juni hingga Agustus 2025. Sejumlah daerah diperkirakan mengalami kekeringan paling parah, di antaranya Jawa bagian tengah dan timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku. Sementara itu, sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan justru diprediksi mengalami musim kemarau yang lebih panjang dari biasanya.

Walaupun fenomena iklim global seperti El Nino dan IOD saat ini berada dalam kondisi netral, suhu muka laut di sekitar Indonesia yang cenderung lebih hangat hingga September diperkirakan tetap akan mempengaruhi cuaca lokal dan memicu dampak tertentu yang patut diwaspadai.

Baca juga: BPBD DKI bersiap hadapi musim kemarau 2025

Potensi risiko musim kemarau 2025

1. Kekeringan di wilayah tertentu

Beberapa daerah seperti Jawa, Nusa Tenggara, dan Kalimantan diprediksi mengalami kekeringan saat puncak musim kemarau, terutama pada bulan Agustus.

2. Gagal panen dan gangguan pertanian

Dengan kemarau yang datang tidak serempak dan sebagian wilayah lebih kering dari biasanya, ada potensi penurunan hasil panen. Petani disarankan menyesuaikan jadwal tanam dan memilih varietas tanaman yang lebih tahan terhadap kekeringan.

3. Ancaman kebakaran hutan dan lahan

Wilayah yang mengalami musim kemarau normal hingga lebih kering rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Perlu kesiapsiagaan ekstra seperti pembasahan lahan gambut dan pengisian embung sejak dini.

4. Penurunan kualitas udara

Kondisi udara di wilayah perkotaan maupun daerah rawan kebakaran bisa memburuk akibat debu dan asap. Hal ini berisiko memicu gangguan pernapasan dan masalah kesehatan masyarakat.

5. Dampak suhu panas dan kelembapan tinggi

Cuaca panas disertai kelembapan yang tinggi bisa membuat tubuh cepat lelah, dehidrasi, hingga memicu heatstroke, terutama di wilayah padat penduduk.

6. Ketersediaan air bersih terbatas

Dengan curah hujan yang minim, pasokan air untuk kebutuhan harian, pertanian, dan pembangkit listrik tenaga air bisa berkurang. Pengelolaan air yang bijak sangat dibutuhkan agar kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi.

7. Peluang pertanian di wilayah basah

Sebagian wilayah justru akan mengalami musim kemarau yang lebih basah. Kondisi ini bisa menjadi peluang untuk memperluas lahan tanam dengan tetap mengantisipasi potensi hama akibat kelembapan.

Baca juga: NTB mulai masuk peralihan musim kemarau 2025

Baca juga: BPBD: Waspada karhutla saat kemarau Agustus-September

Pewarta: Allisa Luthfia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |