Bermacam persepsi dalam 75 tahun hubungan Indonesia-China

6 hours ago 5

Beijing (ANTARA) - Sejarawan Yuval Noah Harari dalam buku terbarunya Nexus (2024) berargumentasi bahwa manusia tidak perlu mengenal satu sama lain secara personal, tapi hanya perlu tahu satu cerita yang sama, dan cerita itu juga diketahui oleh miliaran orang lain sehingga menjadi penghubung utama pemahaman masyarakat dalam jumlah tak terbatas.

Cerita tersebut juga membentuk persepsi mengenai banyak hal.

Contohnya, survei ASEAN People's Perceptions 2024 menunjukkan persepsi masyarakat ASEAN terhadap China, satu dari sembilan negara mitra ASEAN yang disurvei, adalah sebagai negara paling penting bagi masa depan Asia Tenggara dengan angka 31,95 persen dari 2.028 responden dari 11 negara Asia Tenggara.

Sayangnya, berdasarkan survei yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan The Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) itu, China menjadi negara kedua yang paling mungkin mencampuri urusan politik negara-negara ASEAN, yaitu 36,34 persen di bawah AS (44,38 persen) dan juga sebagai mitra paling tidak terpercaya dan tidak diandalkan (32,5 persen).

Dari perspektif ekonomi, China dinilai sebagai mitra paling menguntungkan bagi pertumbuhan ASEAN dengan persentase sebesar 43,93 persen, terlebih terminologi Belt and Road Initiative (BRI) diketahui oleh 78,01 persen responden.

Meskipun survei ini tidak secara khusus menyoroti responden dari Indonesia, tapi terdapat 504 responden Indonesia (25 persen dari total). Sebanyak 33,33 persen responden Indonesia menilai Tiongkok sebagai mitra paling relevan untuk masa depan ASEAN tapi ada 21,63 persen yang menilai China sebagai mitra paling tidak terpercaya dan 21,63 persen sebagai mitra yang paling tidak patuh terhadap hukum internasional.

Secara umum, kekuatan China terlihat jelas, negara itu dianggap sebagai pemimpin dalam kerja sama ekonomi dengan ASEAN, tetapi perlu mengatasi kekhawatiran terkait niatnya di bidang keamanan. Menariknya, responden juga mencatat China sebagai negara dengan soft power terkuat yaitu 26,04 persen sehingga pengaruh budaya dan politik China menonjol.

Persepsi bidang politik

Dalam bukunya China and The Shaping of Indonesia 1949-1965 (2011), Hong Liu menyatakan bahwa China dan Indonesia memiliki sejarah panjang arus pertukaran masyarakat, gagasan, dan barang, bahkan sebelum kedatangan Belanda pada abad ke-16.

Secara khusus, pada awal abad ke-20, para intelektual China mulai membangun tatanan regional baru Asia. Dalam upaya ini, konsep Nanyang (Laut Selatan yaitu istilah China untuk Asia Tenggara) menjadi komponen penting dalam mempersepsi ulang kawasan China, Asia Tenggara, dan Jepang.

Sedangkan Yiqing Li (2023) dalam tulisannya berjudul Art Diplomacy: Drawing China-Indonesia Relations in the Early Cold War, 1949–1956 mengungkapkan bahwa ketika Republik Indonesia dan Republik Rakyat China menjalin hubungan diplomatik formal pada 13 April 1950, kedua negara sebenarnya sering berada dalam situasi yang penuh ketegangan.

Ketegangan ini juga menyangkut posisi etnis Tionghoa di India, Indonesia, Vietnam, dan negara-negara Asia lainnya. Selain itu, pernyataan pemimpin China saat itu Mao Zedong pada Juni 1949 mengenai kebijakan luar negeri "Bersandar pada Satu Sisi" serta keterlibatan China dalam Perang Korea (1950–1953) sejak Desember 1950 semakin mempererat posisi China di kubu Uni Soviet.

Pemerintah Indonesia yang dipimpin kaum nasionalis saat itu memandang pengaruh Partai Komunis China (PKC) yang meluas di Asia Tenggara sebagai ancaman dan menganggap PKC sebagai pengikut otoritarianisme komunis ala Soviet. Di sisi lain, PKC mengkritik pemerintah Indonesia karena menjalin hubungan dengan Amerika Serikat dan Jepang.

Dari perspektif Mao, penerimaan Soekarno terhadap intervensi AS dalam Perjanjian Renville (1948) serta kompromi dengan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (1949) membuat pemerintah Indonesia tunduk kepada kaum imperialis dan kolonialis Barat. Pemerintah Tiongkok juga sangat terganggu dengan sikap permisif pemerintah Indonesia terhadap aktivitas politik cabang Partai Kuomintang (KMT) di Jakarta.

Arnold Mononutu (1896–1983), duta besar Indonesia pertama untuk Tiongkok, pernah memperingatkan agar tidak menyamakan PKT dengan komunisme Soviet, dan berpendapat bahwa PKT memiliki kemerdekaan tersendiri dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya.

Namun, pada akhir 1954, China mulai memperkenalkan kebijakan diplomatik baru yang disebut “Persatuan Damai” (Peaceful United Front), yang bertujuan menjalin kesatuan dengan negara-negara lain tanpa memandang perbedaan ideologi politik. Diplomasi berbasis ideologi “Bersandar pada Satu Sisi" rumusan akhir 1940-an pun tergantikan oleh pendekatan diplomasi yang lebih pragmatis dan melampaui dikotomi antara komunisme dan kapitalisme.

Ardhitya Eduard Yeremia dan Klaus Heinrich Raditio (2025) dalam tulisannya "Tiongkok dan Global South: Anggota, Mitra, atau Risiko?" mengatakan Beijing berusaha menjalin hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga. Wajah China yang cinta damai pun diwujudkan melalui pernyataan bersama China dengan India dan Burma Myanmar mengenai Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai (Five Principles of Peaceful Co-Existence) pada 1954.

Puncaknya adalah saat Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri China Zhou Enlai berpidato dalam Konferensi Asia Afrika pada 1955 di Bandung yang menyampaikan, delegasi China hadir untuk bersatu dan bukan untuk bertengkar … untuk mencari titik temu dan bukan untuk menciptakan perpecahan.

Banyak yang terkesan mendengarkan seorang pemimpin China untuk kali pertama menyampaikan kepada dunia pandangan Beijing atas nama masalah-masalah internasional. China pun melebarkan batas kerangka ideologisnya dan memperluas orbit geopolitiknya ke negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka.

Indonesia dan China kemudian menjalin suatu kemitraan dalam membangun solidaritas di antara negara-negara New Emerging Forces (NEFO). Pola interaksi saling menguntungkan ini terus berulang dalam evolusi hubungan bilateral keduanya.

Namun, pada 30 Oktober 1967 kedua negara membekukan hubungan.

Persepsi bidang ekonomi

Rini Utami (2015) jurnalis LKBN ANTARA saat perayaan 65 tahun hubungan Indonesia-Tiongkok, menulis, pada 24 Februari 1989, Presiden Soeharto bertemu Menlu China saat itu, Qian Qichen, dalam upacara pemakaman Kaisar Hirohito di Tokyo untuk membahas kemungkinan normalisasi hubungan kedua negara.

Pembahasan dilanjutkan oleh Menlu Ali Alatas yang bertemu Menlu Qian Qichen pada 4 Oktober 1989 di Tokyo. Hasilnya, pada 3 Juli 1990 kedua menlu menandatangani Komunike Bersama The Resumption of The Diplomatic between The Two Countries di Beijing, diikuti kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke Indonesia sekaligus menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman Pemulihan Hubungan Diplomatik kedua negara pada 8 Agustus 1990.

Presiden Soeharto pun melakukan kunjungan balasan pada 14-18 November 1990, dan menyaksikan penandatanganan pembentukan Komisi Bersama Bidang Ekonomi, Perdagangan, dan Kerja Sama Teknik.

Normalisasi hubungan tersebut kemudian secara bertahap membuka hubungan ASEAN dan China, hingga akhirnya pada 1996 China menjadi mitra dialog penuh ASEAN.

Suasana China-ASEAN Expo (CAEXPO) di Nanning, Daerah Otonom Guangxi Zhuang, China pada Rabu (25/9/2024). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Lebih lanjut, Indonesia-China semakin erat dengan penandatanganan status bilateral yaitu menjadi Kemitraan Strategis pada 25 April 2005 dan ditingkatkan menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada Oktober 2013.

Sejak itu hubungan politik, ekonomi, dan sosial-budaya kedua negara terus meningkat.

Selama 75 tahun hubungan bilateral itu terjalin, kedua negara mencatat transaksi perdagangan yang terus meningkat. Pada 2024, nilai transaksinya mencapai 147,78 miliar dolar AS (sekitar Rp2.478 triliun), menurut data Bea Cukai China.

Pada tahun yang sama, nilai ekspor Indonesia ke China mencapai 71,09 miliar dolar AS, sedangkan nilai impor dari China tercatat sebesar 76,69 miliar dolar AS. China menjadi mitra dagang terbesar Indonesia di atas AS dan Jepang.

Pada 2024, China juga menjadi negara ketiga terbesar yang berinvestasi secara langsung di Indonesia dengan 8,1 miliar dolar AS, atau meningkat 9,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Khusus di bidang investasi, Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) yang dipimpin China telah membuahkan hasil pada Kawasan Industri Morowali Indonesia (IMIP) yang melibatkan Tiongkok. Kawasan industri ini, yang diresmikan selama kunjungan Presiden Xi Jinping ke Indonesia pada Oktober 2013 sebagai bagian dari proposal Jalur Sutra Maritim Abad ke-21.

IMIP merupakan zona pemrosesan nikel terpadu terbesar di Indonesia. Meliputi lahan seluas 4.000 hektare di Sulawesi Tengah. Kawasan industri ini berada di tujuan utama Indonesia untuk investasi langsung asing (FDI) pada 2022, dengan 75,7 persen investasi diarahkan ke industri logam dasar yang mendukung fasilitas pemrosesan nikel. Selama 10 tahu terakhir PDB Sulawesi Tengah meningkat tiga kali lipat, mencapai sekitar 21 miliar dolar AS pada 2023.

Persepsi bidang keamanan

Di bidang keamanan, Indonesia-China mendapat momentum penting dengan Pertemuan Tingkat Menteri Pertama (2+2) antara Menteri Luar Negeri Sugiono dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dengan Menlu China Wang Yi dan Menhan China Dong Jun di Beijing pada 21 April 2025.

Pertemuan tersebut adalah yang pertama yang dilakukan Indonesia-China sebagai tindak lanjut pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping pada 9 November 2024 yang mencapai kesepakatan bahwa kedua negara akan bekerja sama di lima pilar yaitu politik, ekonomi, pertukaran masyarakat, maritim, dan keamanan.

Menurut Menlu Wang Yi, mekanisme 2+2 tersebut adalah yang pertama yang dimiliki China dengan negara lain di dunia.

Pertemuan Tingkat Menteri Pertama China-Indonesia (2+2) di Wisma Negara Diaoyutai pada Senin (21/4/2025). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

"Sekaligus menandai terbentuknya kepercayaan politik dan kerja sama keamanan antara dua negara berkembang besar dan yang ekonominya sedang bangkit," kata Menlu Wang Yi.

Dalam pertemuan 2+2, Indonesia dan China sepakat meningkatkan kerja sama penegakan hukum, termasuk bantuan hukum timbal balik, pertukaran intelijen, serta koordinasi operasi dalam menanggulangi kejahatan transnasional, kejahatan siber, dan ekstremisme.

Sebagai bagian dari upaya membangun strategic trust, kedua negara juga sepakat membentuk mekanisme konsultasi bilateral baru di bidang perlucutan senjata, non-proliferasi, dan pengendalian senjata.

Salah satu hasil utama adalah penandatanganan Nota Kesepahaman pembentukan Comprehensive Strategic Dialogue (CSD) oleh Menlu Sugiono dan Menlu Wang Yi serta dengan memperkuat koordinasi antara Bakamla dan China Coast Guard.

"Seperti kata pepatah China, Tong zhou, Gong ji, kita menyeberangi sungai ini dengan perahu yang sama, bersama-sama," kata Menlu Sugiono dalam sambutan di resepsi 75 Tahun Hubungan Indonesia-China di Beijing pada 21 April 2025.

Selama lebih dari 75 tahun, China menjadi salah satu mitra pembangunan Indonesia yang paling setia. Indonesia menghargai dukungan China yang berkelanjutan.

Persepsi bidang budaya

Saat kunjungan Presiden Soekarno ke Beijing pada 1 Oktober 1956, PM Zhou Enlai menghadiahi Soekarno dua volume buku antologi empat bahasa (Indonesia, Mandarin, Inggris, dan Rusia) berukuran besar berjudul "Lukisan dari Koleksi Dr. Soekarno Presiden Republik Indonesia".

Terdapat 206 foto dari lukisan-lukisan asli yang dipilih oleh pelukis Dullah dari koleksi Soekarno. Antologi tersebut mencakup lukisan-lukisan dari berbagai pelukis dan gaya yang berbeda, yang belum pernah diterbitkan di negara mana pun, termasuk Indonesia. Presiden Soekarno pun menerima hadiah tersebut dengan gembira karena keinginan lamanya yang terpendam untuk menerbitkan koleksi seni pribadi bisa terkabul.

"Berkat antologi lukisan ini, dunia menjadi lebih mengenal Indonesia," kata Soekarno dalam tulisan Yiqing Li.

Kata pengantar antologi yang ditulis oleh penerbit People’s Fine Arts Publishing House di Beijing itu pun menyatakan antologi tersebut sebagai simbol persahabatan dan pertukaran budaya yang semakin erat antara kedua negara.

Saat 75 tahun hubungan diplomatik kedua negara, seniman kontemporer Indonesia Syaiful Aulia Garibaldi pun berkesempatan memamerkan mushroom sculpture (patung jamur) dengan media jamur hidup di ruang terbuka Yuz Museum di Shanghai pada 12 April 2025 hingga 4 Januari 2026.

Pameran "Lartucira Field" karya seniman kontemporer Indonesia Syaiful Aulia Garibaldi dengan media jamur hidup berada di ruang terbuka Yuz Museum di Shanghai. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Pameran dengan nama Lartucira Field tersebut menghadirkan bentuk lapisan plaster yang membungkus substrat jamur. Terdapat setidaknya dua jenis jamur yang berasal dari Indonesia dan China yaitu jamur oyster (Indonesia) dan lingzhi yang berasal dari China.

"Saya pikir pameran seperti ini ke depannya bisa menjadi salah satu bentuk pengenalan seniman seniman Indonesia ke seni rupa China. Harapannya semoga kedua belah pihak baik dari Indonesia maupun China, banyak mengadakan pameran atau berkolaborasi agar dapat saling belajar di wilayah seni dan budaya," kata Syaiful saat dihubungi ANTARA dari Beijing.

Bidang budaya lain yang berkembang pesat adalah pertukaran pemahaman bahasa yang ditandai dengan terselenggaranya Lomba Pidato Bahasa Indonesia Tingkat Nasional ke-2 pada 27 April 2025 di di Beijing Foreign Studies University (BFSU).

Ada 46 mahasiswa yang ikut dalam lomba tersebut dari 15 universitas dari seluruh China.

Terdapat dua kategori yang diperlombakan dalam kompetisi tersebut yaitu Kategori I (tingkat dasar) dengan tema pidato "Belajar Bahasa Indonesia pada Era Kecerdasan Digital" yang diikuti 28 peserta.

Sementara Kategori II (tingkat lanjut) dengan tema "Memperkuat Semangat Bandung serta Membangun Komunitas Senasib Sepenanggungan Indonesia-Tiongkok" diikuti 18 orang peserta.

Sebagai juara pertama di kategori tingkat lanjut adalah Jin Chengle yang memiliki nama Indonesia Zaro dari Tianjin Foreign Studies University.

"Saya dari awal berniat belajar bahasa Indonesia karena pernah membaca buku berjudul A Life Beyond Boundaries. Buku itu berisi kajian penulisnya soal AsiaTenggara terutama Indonesia. Jadi saya tertarik dengan ide si penulis dan menyadari bahwa ternyata budaya dan sejarah Indonesia sangat kaya dan panjang tapi belum banyak diketahui oleh masyarakat China," kata Zaro kepada ANTARA.

Mahasiswa Tianjin Foreign Studies University Jin Chengle yang menjadi juara pertama tingkat lanjut dalam Lomba Pidato Bahasa Indonesia Tingkat Nasional ke-2 berdiri bersama Koordinator Fungsi Penerangan Sosial dan Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing Nur Evi Rahmawati di Beijing Foreign Studies University (BFSU), Beijing pada Minggu (27/4/2025). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Zaro yang pernah beberapa kali ke daerah di Indonesia seperti Yogyakarta, Jakarta maupun Jawa Tengah itu juga mengaku masih ingin belajar bahasa Indonesia lebih dalam lagi agar dapat memperkenalkan budaya Indonesia ke warga di China.

Sedangkan salah satu juara pertama di kelompok tingkat dasar yaitu Zhao Encheng dan memiliki nama Indonesia Michael Setyono mengaku pertama kali mengenal Indonesia dari novel "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer yang sudah diterjemahkan ke bahasa Mandarin.

Zhao yang berasal dari Yunnan Minzu University itu mengaku saat ini dia sedang membaca novel "Durga Umayi" karya Y.B. Mangunwijaya dalam bahasa Indonesia.

"Mimpi saya adalah mempelajari budaya Indonesia dan belajar bermain gendang dan pertunjukan ketoprak humor," ungkap Zhao yang mengatakan rela tidur di lorong asrama beberapa hari untuk berlatih pidato demi tidak mengganggu rekan-rekan satu kamarnya di asrama.

Akhirnya persepsi dalam hubungan dua negara memang sangat beragam di berbagai bidang, terlebih bila relasi tersebut sudah berlangsung lama. Meski begitu, selalu ada ruang untuk berimprovisasi dalam persepsi, termasuk dalam hubungan Indonesia-China.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |