Benarkah bulan Safar membawa malapetaka? Ini penjelasan dalam Islam

1 month ago 6

Jakarta (ANTARA) - Bulan Safar dalam kalender Hijriah kerap diselimuti beragam mitos, terutama keyakinan bahwa masa ini identik dengan datangnya malapetaka seperti kesialan atau musibah. Pandangan tersebut telah hidup di tengah sebagian masyarakat selama berabad-abad, diwariskan dari generasi ke generasi.

Namun, bagaimana sebenarnya ajaran Islam memandang hal ini? Apakah benar bulan Safar membawa malapetaka, atau justru hanya kesalahpahaman yang berkembang dari tradisi dan kebiasaan lama?

Berikut penjelasannya yang dirangkum dari situs resmi Baznas dan sejumlah sumber lainnya.

Baca juga: 7 amalan sunnah Bulan Muharram yang dianjurkan Islam

Asal-usul mitos bulan Safar dan dampaknya di masyarakat

Pada masa Arab jahiliyah, banyak orang meyakini bahwa bulan Safar adalah masa penuh kesialan dan kemalangan. Keyakinan ini kemudian terbawa ke sebagian umat Islam hingga kini.

Khususnya dalam bentuk larangan menikah, bepergian jauh, atau memulai usaha selama bulan Safar. Padahal, tidak ada dalil yang sahih yang mendukung anggapan tersebut. Sebaliknya, sejumlah hadis justru membantah pandangan itu.

Di tengah masyarakat Indonesia sendiri, khususnya yang berakar pada tradisi Jawa, terdapat keyakinan hari sial di bulan Safar tersebut jatuh pada, hari Rabu terakhir di bulan Safar. Hari ini dikenal sebagai Rabu Wekasan atau Rabu Pungkasan, dan diperingati setiap tahun sesuai penanggalan Hijriah.

Kepercayaan tersebut membuat sebagian orang melakukan berbagai ritual sebagai bentuk ikhtiar untuk terhindar dari hal-hal buruk. Salah satu momen pelaksanaan amalan itu adalah pada hari Rebo Wekasan, yang biasanya diisi dengan rangkaian ibadah seperti doa bersama, dzikir, atau shalat sunnah, semuanya ditujukan kepada Allah SWT.

Baca juga: Berikut amalan sederhana ketika puasa yang bernilai pahala besar

Bulan Safar bukanlah bulan malapetaka

Bulan Safar tidaklah membawa kesialan atau kesusahan sebagaimana yang diyakini sebagian orang. Pandangan tersebut tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam. Justru, banyak hadis yang secara tegas membantah takhayul tersebut dan menegaskan bahwa hanya Allah SWT yang menentukan segala takdir.

Sebagaimana dijelaskan dalam sejumlah riwayat, Rasulullah SAW berupaya memutus rantai keyakinan warisan jahiliyah yang menyesatkan. Oleh karena itu, sebagai umat Islam, kita berkewajiban menjaga kemurnian akidah dengan tidak mengikuti mitos-mitos yang tidak memiliki landasan syariat.

Memahami hadis tentang bulan Safar dengan benar akan menumbuhkan keyakinan, keberanian, dan ketenangan dalam menjalani berbagai urusan, baik yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat.

Dalam catatan sejarah, masyarakat Arab pra-Islam menganggap bulan Safar sebagai waktu penuh kesialan. Mereka meyakini Safar sebagai salah satu jenis penyakit yang menyerang bagian perut.

Mengutip penjelasan dalam buku Mengenal Nama Bulan dan Kalender Hijriah, masyarakat Arab jahiliyah juga percaya bahwa Safar adalah angin panas yang masuk ke tubuh dan menyebabkan penyakit.

Baca juga: Amalan Rebo Wekasan yang dianjurkan Islam untuk lindungi dari musibah

Keyakinan ini dibantah ketika Islam datang. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا غُولَ وَلَا صَفَرَ

Artinya: “Dari Jabir, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak ada penyakit yang menular tanpa izin Allah, tidak ada hantu bergentayangan, dan tidak ada shafar (penyakit perut) yang terjadi dengan sendirinya.’” (HR Muslim, no. 4120)

Dalam salah satu hadis lain yang cukup dikenal adalah sabda Nabi SAW:

"La ‘adwa, wa la thiyarata, wa la hammah, wa la shafara."

Artinya: "Tidak ada penularan penyakit tanpa izin Allah, tidak ada thiyarah (kesialan karena pertanda buruk), tidak ada hamah (burung pembawa sial), dan tidak ada bulan Safar." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa Rasulullah SAW menolak keyakinan bahwa bulan Safar membawa sial. Islam hadir untuk membersihkan akidah umat dari unsur takhayul dan mitos yang diwarisi dari masa jahiliyah.

Sayangnya, masih ada sebagian umat Muslim yang tanpa sadar memandang bulan Safar sebagai waktu yang kurang baik untuk melakukan aktivitas tertentu. Keyakinan seperti ini jelas bertentangan dengan hadis tersebut, sebab Nabi telah menghapus stigma negatif terhadap bulan ini.

Mitos semacam itu juga berpengaruh pada pola pikir dan mental seseorang. Rasa takut untuk bertindak hanya karena waktunya bertepatan dengan bulan Safar dapat mengarah pada bentuk syirik kecil. Karena itu, umat Islam perlu kembali berpegang pada ajaran Nabi agar terhindar dari keyakinan yang keliru.

Baca juga: Ribuan orang ikut Mandi Safar di Riau

Pewarta: Sean Anggiatheda Sitorus
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |