Bagaimana rakyat China Memaknai Perang pada 80 tahun lalu (Bagian 1)

4 weeks ago 10

Beijing (ANTARA) - Semasa kecil, Zhang Lianhong tumbuh dewasa dengan kisah-kisah yang dipenuhi dengan dentuman bom, kepanikan saat melarikan diri, dan upaya putus asa untuk menemukan perlindungan.

Ayahnya kerap mengenang hari ketika pesawat-pesawat Jepang terbang di langit Chongqing, yang saat itu merupakan ibu kota China pada masa perang. Dia melompat ke sebuah perahu, menyeberangi sungai, dan tiba di rumah sakit tempat sang ibu baru saja melahirkan. Bersama-sama, mereka menggendong erat bayi yang baru lahir tersebut lalu melarikan diri menuju tempat perlindungan terdekat.

Puluhan tahun berselang, kenangan keluarga yang dulu sering diceritakan di meja makan itu menjadi sumber inspirasi bagi film animasi "Phoenix in Fire" yang dibuat Zhang selama tujuh tahun. Bagi dirinya, hal itu merupakan pencarian pribadi untuk menjawab pertanyaan yang masih membekas, yakni apa makna kemenangan tersebut, yang dicapai 80 tahun silam, bagi kita saat ini?

Tahun ini menandai peringatan 80 tahun kemenangan Perang Perlawanan Rakyat China terhadap Agresi Jepang dan Perang Anti-Fasis Dunia.

"Bukan waktu yang menjauhkan kita," ujar Zhang, sineas yang berbasis di Chongqing. "Melainkan kemauan untuk berempati."

KORBAN JIWA YANG TINGGI, PERDAMAIAN YANG DICAPAI DENGAN USAHA KERAS

Pada 18 September 1931, pasukan Jepang menyerang tentara China di Shenyang, ibu kota Provinsi Liaoning, China timur laut, yang menandai dimulainya invasi selama 14 tahun. Kemudian, mereka menduduki seluruh wilayah di China timur laut dan mendirikan negara boneka.

Pada 1937, mereka menyerang Beijing, yang saat itu dinamai Beiping, memicu perang berskala besar. Saat kota itu jatuh, orang tua Zhang melarikan diri bersama seluruh warga sekolah mereka ke Chongqing di China barat daya.

Mulai 1938, pesawat tempur Jepang mengebom Chongqing selama lebih dari enam tahun, menewaskan dan melukai lebih dari 32.000 orang. Penghancuran masif tersebut menjadikan kota itu luluh lantak, dengan bangunan runtuh dan puing-puing berserakan di segala penjuru.

"Kita harus mengingat bencana yang ditimbulkan oleh perang agresi tersebut terhadap rakyat," tutur Cheng Ming (90). Saat berusia delapan tahun, dirinya kehilangan ayah dan kakeknya dalam sebuah pengeboman. Nenek Cheng, yang terpukul oleh kehilangan tersebut dan rumah mereka yang hancur sepenuhnya, tak lama kemudian meninggal dunia, meninggalkannya seorang diri.

Selama 14 tahun perang tersebut, China mencatatkan 35 juta korban jiwa. "Tanpa perang yang dilancarkan oleh para penyerbu Jepang, nyawa-nyawa tersebut takkan pernah hilang," tutur Zhang.

China membendung dan memerangi sebagian besar pasukan Jepang selama Perang Anti-Fasis Dunia, melumpuhkan lebih dari 1,5 juta personel tentara musuh dan mencegah Jepang untuk menerjunkan lebih banyak prajurit ke palagan/medan perang di Pasifik.

Saat Zhang kemudian menemukan "Kukan", film dokumenter peraih Oscar yang merekam perang di China mulai 1937 hingga 1940, dia memutuskan untuk menghidupkan kembali kisahnya lewat animasi, yang menggambarkan adegan pesawat-pesawat Jepang menjatuhkan bom, kebakaran yang berkobar di seantero Chongqing, upaya warga memadamkan api, dan perlawanan mereka yang tak kenal lelah.

Salinan foto arsip menunjukkan angkatan udara Jepang melakukan serangan udara di Chongqing, China barat daya, 16 Juni 1940. (Xinhua)

Pada Juni tahun ini, film "Phoenix in Fire" ciptaannya ditayangkan perdana di sebuah bioskop di Chongqing.

"Tantangan umat manusia pada dasarnya tidak berubah," ujarnya. "Kami membuat film ini untuk menerjemahkan kisah-kisah yang disampaikan oleh para lansia ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh kaum muda, untuk menghormati nyawa yang hilang, dan mengingat betapa sulitnya mewujudkan perdamaian."

KEMENANGAN SEMPURNA PERTAMA DALAM PEMBEBASAN NASIONAL

Perang Perlawanan Rakyat China terhadap Agresi Jepang merupakan perjuangan terbesar sekaligus terpanjang rakyat China melawan agresi asing di era modern sejak Perang Opium pada 1840. Perjuangan itu menelan pengorbanan yang sangat besar, tetapi berakhir dengan kemenangan sempurna pertama rakyat China dalam pembebasan nasional.

"Kemenangan itu merupakan titik balik yang signifikan bagi bangsa China, dari kemunduran menuju peremajaan kembali," urai Hu Yongheng, sejarawan dari Akademi Ilmu Sosial China (Chinese Academy of Social Sciences/CASS).

Titik balik nasional tersebut tertanam dalam ingatan keluarga Jing Lei, yang lahir di Yan'an, yang dulunya merupakan basis Partai Komunis China (Communist Party of China/CPC) masa perang.

Bersambung ke Bagian 2

Penerjemah: Xinhua
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |